Sunday, May 27, 2012

Kacang Ninggal Lanjaran

Karena menghapus jejak bukanlah hal yang bijak
Tidakkah orang tua mengajarkanmu untuk tidak melupakan sejarah?
Sejarah kelahiranmu?
Sejarah nenek moyang bangsamu?
Mereka bertubi menyindirmu dengan peribahasa "Kacang lupa akan kulitnya"
Bahkan dalam bahasa ibuku berdengung "Kacang ninggal lanjaran"1

Karena menghapus budi bukanlah sifat berbudi
Tidakkah alam cukup memberikanmu penggambaran?
Ia menyindirmu, kadang hingga membentak
Rumahmu tenggelam akan muncratan air liurnya
Tanahmu koyak akan gelegar teriakannya

Tidakkah kau tahu terhapusnya jejak membuatmu linglung akan jati diri?
Jauh lebih mengenaskan daripada harakiri


1 "Kacang ninggal lanjaran" adalah pepatah jawa yang artinya lupa diri, tidak tahu berterimakasih, mendahulukan kepentingan pribadi atas kepentingan bersama dan melupakan asal-usul atau sejarah. Dalam konteks lain juga terdapat peribahasa "Kacang ora ninggal lanjaran" yang artinya senada dengan "Buah tidak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya". 

Biru Zamrud

Aku terjebak dalam lautan manusia, menjadi salah satu molekul dalam keutuhan samudera. Aku melihat manusia berjejal, saling tumpang tindih, saling menjegal, berebut posisi di permukaan air, menggeliat merindukan oksigen. Aku diantara mereka, menjadi penonton yang ikut terdesak hingga nafasku sesak.

Satu kali, aku tenggelam di laut dalam, arusnya tenang menghanyutkan. Dasar laut dipenuhi oleh manusia yang lelah dengan kemunafikan, mereka yang lebih memilih telanjang dalam pemikiran, mereka yang enggan melihat luka tergoreskan.

Sayang arus tak pernah tidur. Ia mengajakku bermain dengan liukannya, liukan yang terkadang mesra terkadang mendebarkan, membawaku merasakan nuansa berbagai kedalaman. Ada kalanya aku kalang kabut menghindari mulut-mulut ikan yang menganga lebar. Meski aku hanyalah sebuah molekul diantara milyaran lainnya, namun bukankah aku memiliki hak untuk bebas? Bebas dari belenggu tubuh ikan manapun?

Aku dan molekul air lainnya, ketika dilihat dari permukaan, menciptakan berbagai warna, dari biru zamrud, biru tua, hijau, merah, putih, bahkan kehitaman. Tapi tunggu, jangan kalian tertipu olehnya. Pinjamlah kaca mata Tuhan, warna kami sejatinya adalah homogen, warna air. Suhu, kadar garam, berat jenis, biologi laut dan kadar oksigen yang larut membuat kami tampak tak senada. Biru zamrud itu semu dalam pandanganmu.


Sunday, April 29, 2012

Pukul Lima Pagi

Laki-laki bujang itu memasang head-set, memakai sepatu dan melayangkan tubuhnya terbebas dari pintu gerbang. Hal paling pertama yang ingin ia nikmati dalam acara jogging kali ini adalah jingga langit jam lima pagi. Ia mengangkat kepalanya menatap ufuk timur.
"Mengapa harus ada gedung-gedung tinggi merebut jingga langitku pagi ini?"
Ia menghiraukan kekecewaannya dengan menikmati sisa jingga dan kemudian menutup mata. Kali ini ia ingin mereguk melodi fajar tanpa suara sumbar. Tiba-tiba motor menderu dari belakang, mengacaukan kolaborasi jazz sayup-sayup dan kicau burung.
"Bisakah orang menghentikan semua deru mesin hanya untuk pukul lima pagi?"
Saraf sensoriknya memaksa mata untuk kembali terbuka. Bujang itu kemudian menghirup dalam-dalam udara pagi serambi berpikir bahwa sepertinya hanya kepolosan aroma udara yang masih tersisa. Seketika itu juga, wangi aroma parfum merebak di hidungnya. Ia gerang, ingin lepas bebas dari segala polusi. Ia kembali menutup matanya, membudekkan indra pendengarnya, menghiraukan indra perabanya, dan berlari kencang, berlari menuju dimensi lain, dimensi tanpa polusi.

Monday, January 30, 2012

Mulut-Mulut Mungil

    Kusmi membayangkan kembali tubuhnya dicumbui di malam-malam ketika suaminya belum berada di liang kubur. Ia begitu mendamba masa-masa itu terulang. Usik di sampingnya membuatnya seketika terperangah. Di hadapannya kini tertidur pulas seorang anak laki-laki sembilan tahun dan gadis mungil enam tahun lebih muda dari kakaknya.

    Wanita yang baru menginjak seperempat abad itu menatap kedua mulut buah hatinya. Mulut-mulut itu, ya, mulut-mulut mungil itu yang sehari tiga kali menuntut nasi dan lauk di meja makan. Ah! Apapun rela kulakukan demi mulut-mulut itu bisa mengunyah. Tetes demi tetes air mata mengalir di kedua pipi Kusmi. Hanya gelap dan gemercik hujan yang menemaninya malam ini dengan setia. Ia cepat-cepat menyeka air matanya dengan kaos mugil berwarna jingga, tak ingin membuat anak-anaknya terjaga. Jauh di lubuk hati, kusmi berteriak-teriak memanggil suaminya, namun jawaban yang datang hanyalah bungkam.


Sunday, April 17, 2011

Hujan, aku padamu...







Aku lihat mereka berlomba,
berlomba menembus bumi,
membumi....

Engkau adalah mereka,
tak mungkin satu,
mungkin beribu-ribu... 

Sunday, February 6, 2011

a Sent Mail

Ibu, kini aku sudah berada di pijakan tanah yang berbeda darimu, entah berapa ribu mill membentang. Cucu laki-lakimu saat ini sedang pulas disampingku, Untunglah, jadi aku punya waktu menulis email. Wah, bibir mungil cucumu tersenyum lebar, terlihat gantheng seperti ayahnya. Baru kemarin, senyum itu bertransformasi menjadi tawa. Ya, kemarin, di rumah dimana aku menghabiskan tahun-tahun masa bermainku, rumah dimana tubuh dan jiwaku mendewasa. Cucumu sungguh menikmati segalanya tentang rumah itu, Bu, setiap sudut dan setiap detil di setiap ruang. Hmm… saat kami harus pergi pun, engkau tahu ia masih merengek meminta tinggal lebih lama. Nempel terus dia sama ibu. Bahkan tadi pagi seketika setelah bangun tidur Ditto-ku sudah menanyakanmu. “Uti mana, Bund?” pertanyaan itulah yang pertama kali muncul ketika kedua matanya terbuka. Kasihan…

Wednesday, January 5, 2011

Your Messages and Gulps of Water




Riuh pagi membangunkan Aruna dari lelap. Dua hari ini ia lebih banyak tersenyum, berfikir dan diam. Enggan ia beranjak, kembali berfikir. Sebuah nama datang begitu saja dari masa lalu, masa kecil, masa kanak-kanak. Senyum itu kembali nampak di sudut bibir Aruna.

Dulu mereka tak pernah bertegur sapa, meski tahu dengan jelas satu sama lain. Ketika itu, Aruna tiada mengenal cinta, hanya tahu ia tertarik, tertarik karena anak laki-laki itu terkenal pandai, itu saja. Aruna ingat seorang temannya berkelakar.

"Aruna, dia naksir sama kamu loh,"

dan Aruna lebih memilih berpura-pura tak perduli dan memperhatikannya dari jauh, dengan diam-diam, itu saja, sudah cukup. Gadis itu tertawa, bertapa ia merindukan dirinya menjadi polos tanpa cela. Nama itu, ya nama itu, sejak dua hari yang lalu meramaikan otaknya, bahkan terkadang cukup menghanyutkan, jiwanyapun memaksa untuk ikut terhanyut, hanyut dalam badai perenungan, ia tidak sama sekali berkeberatan.