Friday, December 13, 2013

Bergeming Berdenting

Aku bergeming mendengarmu berdenting
Waktu, bisakah engkau berhenti sejenak?
Sisaku dengannya tak banyak

Aku kembali bergeming
Sekarang bukan lagi sekarang
Jarum kian berdenting

Ingatanku bergeming bersamaku
tersesat diantara sekarang dan sekarang
Kemarin kusebut sekarang
detik ini kusebut sekarang

Waktu, bisakah kau berhenti sejenak?

Kulihat tubuhku tergeletak, berhenti berdetak

Waktu tiada lagi membuatku bergeming,
berhenti berdenting

Friday, September 20, 2013

Kupetik Purnama

Sesekali ingin kupetik purnama
Kusematkan pelan-pelan di dada
Kemudian kian berdegup
Kupeluk erat sebelum mata hati meredup

Wednesday, September 18, 2013

Sisa Mimpi Semalam

Kerlip lampu membentuk bibir tawamu
Hanya itu yang tersisa
Bersama aromamu
Sisa mimpi semalam

Tawamu seringkali menemani
Dalam diamku, kerut keningku
Dalam pelukan malamku

Aku terlanjur membunuhmu
Menancapkan belati ke ulu hati
Aku terlanjur tertawa riang saat kau menghilang

Kini, nanti, tawamu terus menghampiri
Melilit nurani, sesaat pergi kemudian datang lagi
Setiap pagi, bersama secangkir kopi
Menghirup aromamu
Sisa mimpi semalam

Monday, June 17, 2013

Terpeluk Malam

Bertelanjang tatapan
Aku terjebak dalam lorong-lorong matamu
Kelopaknya menaungi

Kata-kata malu bersembunyi dibalik pelukan
Lelah berbalut sunyi

Aku dan kamu
Terpeluk malam
Sampai pagi

Saturday, March 30, 2013

Dari Mata Turun ke Bibir


Di hadapan layar, jemariku  beku.

“Cerita tentang kita, sayangku.”

Hanya kata-kata itu yang terngiang,menggema di kepala. Aku melihat potongan-potongan film berkelebat, membentuk puzzle yang semakin lama semakin lengkap. Aku ingat semuanya, bahkan jumlah tetesan keringatmu saat kita berkencan kala panas menyengat. Hanya saja, aku tak bisa menuliskannya untukmu. Aku banyak menulis kisah. Entah. Kisah kita, aku tak sanggup.

Kembali kutatap layar, jemariku beku.

“Sudah kau tuliskan, sayang?”

“Sudah kutulis habis. Bacalah.”

“Mana? Layarmu kosong.”

Aku terdiam. Menatapmu. Penuh.

“Sudah kutulis habis. Percayalah.”

Kamu terdiam. Keningmu berkerut. 

Aku tersenyum. Menatapmu. Penuh.

“Baca wajahku dengan seksama. Setiap liku kisah kita tertulis pada lipatan kening dan mata. Sedangkan bibir, menulis apa yang kurasa. Tanpa tersisa.”

Kamu tersenyum. Mengecupku. Dari mata turun ke bibir.

Saturday, March 23, 2013

Mimi lan Mintuno (Sesederhana Makan Pagi)


Sesederhana makan pagi, sebaiknya kita bercumbu lagi
Mengisi kekosongan perut
Bersiap menyambut entah silau entah kabut

Sesederhana makan pagi, sebaiknya kita bertengkar lagi
Meluapkan alap kalut
Berakhir saling membalut sebelum tubuh menghanyut

Sesederhana makan pagi
Aku sajikan nasi
Untukmu lagi
Dan lagi
Sesederhana makan pagi

Wednesday, March 13, 2013

Mukena & Altar Salib



Berkerudung mukena
Bukan karena malu
Hanya menghadap dengan wujud seindah-indahnya

Memejam mata di depan altar salib
Bukan karena enggan menatap
Hanya melihat dengan mata hati

Saling melafalkan nama
Dalam hening

Semesta tersenyum
Setan terbahak
Tuhan?
Tuhan yang mana?

“Tuhan, lindungi ia yang kukasihi.”
Lafal sepasang kekasih
Dalam sujud
Di depan altar





Wednesday, March 6, 2013

Mantra Ibu


Ibuku gemar meracik ramuan
Ia campur bahan segala rupa
Tidak lupa ia masukkan air mata
Sejak kecil, ramuan itu yang kuminum habis

Ibuku juga gemar memasak
Ia olah sayuran dan daging
Tidak lupa ia iriskan potong demi potong hati dari tubuhnya
Sejak kecil, makanan itu yang kumakan hingga kenyang

Setiap melakukan keduanya
Ibuku tak lupa melafalkan mantra
“Dadio anak sing temen, Nduk. Sing guno kanggo wong liyo.”

Ramuan ibu kini menjelma darah
Masakan ibu menjelma daging
Mantra ibu mengakar dalam darah dan daging

Saturday, February 23, 2013

Karma Si Pencuri Kecil


Kakek sering bercerita tentang gerilya
Berperang melawan Belanda
Aku duduk termenung
Terkadang bosan sambil angkung-angkung
Sambil bercerita ia menyematkan ikatan putih di kepalaku

Suatu hari aku memetik jeruk beramai-ramai di pekarangan
Mengendap-endap takut diketahui si empunya halaman
Kakek tiba-tiba memanggil
Sembari menepuk-nepuk pundak si pencuri kecil
Ia berbisik ditelinga, “Lain kali bilang kalau mau mengambil ya sayang”

Ketika aku sudah besar
Aku mulai pandai berkelakar
Kakek duduk di depan televisi 14 inci
Aku bercerita tentang hari-hari
Ia girang mengamati ikatan putih di kepalaku semakin kencang

Hari itu kakek berbaring di ranjang
Nenek duduk di samping dengan mata meradang
Aku tahu, akan tiba karma si pencuri kecil
Aku memegang ikatan putih di kepalaku sambil menggigil
Berbisik pada malaikat maut “Lain kali bilang kalau mau mengambil orang yang kusayang.”

Saturday, February 16, 2013

Aku, Si Merah Gincu





Baginya, akulah keindahan
Berkelopak merah semerah bibir bergincu
Leherku terpenggal dari tubuh yang membesarkanku
Haus akan saripati tanah

Aku, berhias pita
Pasrah dalam gengam tangan yang berkasih
Beranjak layu dan membangkai

Kumohon,
Jika bosan buang saja aku ke tanah
Biarkan matiku untuk membalas budi
Menghumus, melebur diri




Wednesday, February 6, 2013

Menjelma Salju


Pagi menyapa dengan remang dari balik jendela. Rintik salju masih menghiasi panorama. Aku menghangat dengan ingatan tentangmu, tentang kita. Ah, itu hanya bahasaku saja. Mungkin kau sama sekali tak pernah mengenal kita. Aku saja yang pandai bicara.

Aku benci menceritakannya sendiri. Aku juga ingin mendengar rasamu, meskipun kini, lidahku lebih pekat akan ragu. Apakah kau merasa? Sudahlah, aku simpan sendiri saja.

Tidak, aku ingin mendengar lagumu. Menikmati melodimu. Meski dengan mengigil kelu, kau menyanyikan asmara untuknya. Bukan tentang kita. Aku patah, bertubi.

Kau masih saja datang padaku. Menikmati setiap jengkal tubuhku. Katamu, nikmat itu membuatmu lalai akan luka. Akukah penyembuh luka, sayang? Bukan, tubuhku laksana ganja. Aku, hanya asap bagimu, menguap dan enyah ditelan udara.

Kakiku lunglai, mencinta tak lagi dengan melompat atau berlari. Aku tak sanggup membenci, maka kupilih berhenti, membeku ditempat. Membiarkanmu sibuk dengan luka, asik dengan hasrat semu.


Aku mencintamu menjelma senja
Malu bersembunyi mengufuk jingga
Aku merindumu menjelma salju
Memancar cahaya beku

Tuesday, February 5, 2013

Rajutan Berikat



Baginya yang menunggu, dunia bergulat seperti ulat. Siang dan malam berupa fatamorgana. Detik melenggang santai, tak perduli jantung yang berdegub. Kekasihku tak jua pulang.
...

Aku menuruni tangga yang curam, peluh mengeluh. Tempat ini, lima tahun yang lalu, pipiku merona. Jejak kakiku masih tampak nyata. Aku mengayunkan daun pintu, membunuh ragu, menghujam gelisah.
...

Kutatap pintu, berharap seseorang berkunci membuka. Ah, kami sudah berkomitmen sejak awal. Tidak perlu ada curiga, tiada dusta. Tapi, ini sudah hari ketiga ia pulang ke kota kelahirannya.
...

Pintu mengayun pelan dan terbuka seiring terbukanya masa lalu yang campur aduk, getir dan bungah tiada tara.
...

Aku bertemu dengannya di sebuah pertunjukan. Lirikannya yang tajam menusuk otakku yang seketika buyar. Kulakukan berbagai cara untuk bisa bertemu dengannya, kencan pertama kami pun penuh strategi.

...

Wajah itu, masih sama, hanya guratan di kening membuatnya tampak lebih matang. Kening yang dulu kuhujani kecupan. Aku terdiam, ia bungkam. Jarum jam berhenti berputar. Jantung berhenti berdetak.

...

Kami bercinta apa adanya. Tanpa bertopeng, melihat jelas corengan di muka. Aku bisa menghitung berapa kali ia terluka. Aku juga bisa melihat siapa saja yang menanamkan benih senyum di ujung bibirnya. Dan hari ini, cemburu kugenggam dalam hati.

...

Aku tersenyum dan meneteskan air mata. Hari ini, setelah sekian lama aku kembali menggenggam tangannya, mengalirkan energi yang tiada lagi sama. Lima tahun yang lalu, kafe ini tempat kami saling menumpahkan pandangan mata.

...

Kembali kubaca pesan, “Aku hari ini bertemu dengannya, bolehkah?”

...

Sunyi kini sirna oleh tawa. Aku bisa merasakan dia bahagia, senyumnya mengembang saat ia menyebut istri dan anaknya. Akupun tak kalah girang. Aku ceritakan gadisku yang kini mulai belajar membaca.

...

Kubaca pesanku sendiri, “Pergilah, sayang. Aku menunggumu pulang.”

...

Kami berpisah di persimpangan jalan. Lima tahun yang lalu, hati kami hancur demi kebaikan semua. Tidak untuk disesali. Kini, saatnya menikmati cerita yang kami rajut sendiri, berikat dengan rajutan sebelumnya.

...

Aku tertidur sambil memeluk gadisku. Terbangun oleh belaian lembut istriku.

...

“Sudah makan, sayang?”

Monday, January 28, 2013

Out of Reach

When I'm away
It doesn't mean I deny
Now and then you stay

When you're lost
The memory forever last
All laughs we shared in the past






Friday, January 18, 2013

To the Blurry End





A long way to go, unknown ending
Every human passes
Marks in each junction
Count the length of the journey

Scars all over the body
Signs of mistakes, signs of misery
Build a wiser look, a mature figure
A warior to fight the devil inside

The blurry end
A mistery, everyone said
A dead end with no turning
A finish line with no winning or loosing




Tuesday, January 8, 2013

Tertawan Dimensi


Detik berganti tahun, menghapus buram cakrawala. Tetes demi tetes haru, menyiram setia.

“Kita harus berpisah”, katamu waktu itu sambil terisak, menggenang di pikiran, menghijau, berkembang biak.

Apa salahku jika kita diciptakan berbeda? Kau ubur-ubur, dan aku elang di angkasa, sedangkan semesta mengijinkan kita bertatap muka melalui kilau air bermandikan cahaya.

“Kita tidak pernah berpisah”, kataku menimpali. “Jika hidup dan mati hampir tak berjarak, begitu pula ada dan tiada,” kataku menambahkan. Kamu terdiam, menyembunyikan isak yang semakin sering muncul. Aku ikut diam.

“Jika dengan bertemu aku bisa menangis haru, aku rela membiru,” kau tiba-tiba memulai berkata-kata. “Kita tidak pernah berpisah,” kataku lagi. “Karena lingkup kita semesta, bahkan jika benar ada kehidupan kedua, bahkan jika memang ada surga neraka.”

Aku sadar, ini saatnya kita berada dalam orbit masing-masing. Tidak ada jaminan bahwa suatu ketika kita akan berpapasan di permukaan laut seperti biasanya. Persetan dengan dentuman fisik. Kita, lebih kuat dari itu. Ya, mereka melihat kita sangat naif, tapi begitulah adanya.

“Apa yang harus kita lakukan jika kita merindu?” tanyamu waktu itu. Bebaskan dirimu jika tertawan dimensi tempat dan waktu. Akupun akan begitu. “Baiklah, sayang. Aku akan menemuimu dalam alam imaji, bolehkah sesekali kita mengajak kenangan untuk singgah?”. “Aku sama sekali tak berkeberatan,” jawabku sambil menyunggingkan senyum.

Aku meliuk di angkasa, sebagian dariku tergores. Air jernih menetes dari pelupuk mata, menyirami laut biru, bersembunyi diantara butiran hujan. Kau tak pernah akan tahu. Kulandaikan terbangku mendekati permukaan. “Aku harus pergi, sayangku. Hujan mulai lebat. Berjanjilah untuk meliuk dengan indah, menyala ketika mereka membutuhkan sinarmu dan menyengat ketika dirimu dalam bahaya.”

Kau kemudian menari di permukaan, aku melihat cahayamu, begitu menggoda. “Kau juga, sayangku,” teriakmu melengkapi melodi hujan yang menderu. “Terbanglah setinggi dan sejauh yang kau mau. Dunia diciptakan bulat untuk bisa kau kelilingi. Kau adalah Beniaaq yang memberi pertanda. Gunakan tajam penglihatanmu untuk membedakan guna dan duka.”

Aku meliuk meninggalkan tempat kita beradu, kaupun begitu, kembali kepada orbit kita yang tak sama. Sesekali singgah di pohon ketika aku lelah mengepakkan sayap. Terbang bersama elang-elang kecilku. Seperti elang yang lain, ketika usiaku empat puluh tahun, paruhku mulai bengkok, cakarku mengeras dan bulu-buluku mulai berat. Aku ingat waktu itu aku harus bertapa selama 150 hari, bertubi mematukkan paruhku ke batu hingga lepas dan menunggunya tumbuh lagi. Setelah tumbuh, kupatukkan pada cakarku yang keras, hingga mereka berganti. Dan terakhir bulu. Aku yang baru, kembali meliuk haru, membayangkan dirimu.

Detik berganti tahun, menghapus buram cakrawala. Tetes demi tetes haru, menyiram setia.

Kini tubuh kita bersentuhan, di meja penjual daging kampung pinggir pantai. Mata kita terpejam, bibir kita tersungging, menikmati indahnya lepas dari tawanan dimensi.