Saturday, February 23, 2013

Karma Si Pencuri Kecil


Kakek sering bercerita tentang gerilya
Berperang melawan Belanda
Aku duduk termenung
Terkadang bosan sambil angkung-angkung
Sambil bercerita ia menyematkan ikatan putih di kepalaku

Suatu hari aku memetik jeruk beramai-ramai di pekarangan
Mengendap-endap takut diketahui si empunya halaman
Kakek tiba-tiba memanggil
Sembari menepuk-nepuk pundak si pencuri kecil
Ia berbisik ditelinga, “Lain kali bilang kalau mau mengambil ya sayang”

Ketika aku sudah besar
Aku mulai pandai berkelakar
Kakek duduk di depan televisi 14 inci
Aku bercerita tentang hari-hari
Ia girang mengamati ikatan putih di kepalaku semakin kencang

Hari itu kakek berbaring di ranjang
Nenek duduk di samping dengan mata meradang
Aku tahu, akan tiba karma si pencuri kecil
Aku memegang ikatan putih di kepalaku sambil menggigil
Berbisik pada malaikat maut “Lain kali bilang kalau mau mengambil orang yang kusayang.”

Saturday, February 16, 2013

Aku, Si Merah Gincu





Baginya, akulah keindahan
Berkelopak merah semerah bibir bergincu
Leherku terpenggal dari tubuh yang membesarkanku
Haus akan saripati tanah

Aku, berhias pita
Pasrah dalam gengam tangan yang berkasih
Beranjak layu dan membangkai

Kumohon,
Jika bosan buang saja aku ke tanah
Biarkan matiku untuk membalas budi
Menghumus, melebur diri




Wednesday, February 6, 2013

Menjelma Salju


Pagi menyapa dengan remang dari balik jendela. Rintik salju masih menghiasi panorama. Aku menghangat dengan ingatan tentangmu, tentang kita. Ah, itu hanya bahasaku saja. Mungkin kau sama sekali tak pernah mengenal kita. Aku saja yang pandai bicara.

Aku benci menceritakannya sendiri. Aku juga ingin mendengar rasamu, meskipun kini, lidahku lebih pekat akan ragu. Apakah kau merasa? Sudahlah, aku simpan sendiri saja.

Tidak, aku ingin mendengar lagumu. Menikmati melodimu. Meski dengan mengigil kelu, kau menyanyikan asmara untuknya. Bukan tentang kita. Aku patah, bertubi.

Kau masih saja datang padaku. Menikmati setiap jengkal tubuhku. Katamu, nikmat itu membuatmu lalai akan luka. Akukah penyembuh luka, sayang? Bukan, tubuhku laksana ganja. Aku, hanya asap bagimu, menguap dan enyah ditelan udara.

Kakiku lunglai, mencinta tak lagi dengan melompat atau berlari. Aku tak sanggup membenci, maka kupilih berhenti, membeku ditempat. Membiarkanmu sibuk dengan luka, asik dengan hasrat semu.


Aku mencintamu menjelma senja
Malu bersembunyi mengufuk jingga
Aku merindumu menjelma salju
Memancar cahaya beku

Tuesday, February 5, 2013

Rajutan Berikat



Baginya yang menunggu, dunia bergulat seperti ulat. Siang dan malam berupa fatamorgana. Detik melenggang santai, tak perduli jantung yang berdegub. Kekasihku tak jua pulang.
...

Aku menuruni tangga yang curam, peluh mengeluh. Tempat ini, lima tahun yang lalu, pipiku merona. Jejak kakiku masih tampak nyata. Aku mengayunkan daun pintu, membunuh ragu, menghujam gelisah.
...

Kutatap pintu, berharap seseorang berkunci membuka. Ah, kami sudah berkomitmen sejak awal. Tidak perlu ada curiga, tiada dusta. Tapi, ini sudah hari ketiga ia pulang ke kota kelahirannya.
...

Pintu mengayun pelan dan terbuka seiring terbukanya masa lalu yang campur aduk, getir dan bungah tiada tara.
...

Aku bertemu dengannya di sebuah pertunjukan. Lirikannya yang tajam menusuk otakku yang seketika buyar. Kulakukan berbagai cara untuk bisa bertemu dengannya, kencan pertama kami pun penuh strategi.

...

Wajah itu, masih sama, hanya guratan di kening membuatnya tampak lebih matang. Kening yang dulu kuhujani kecupan. Aku terdiam, ia bungkam. Jarum jam berhenti berputar. Jantung berhenti berdetak.

...

Kami bercinta apa adanya. Tanpa bertopeng, melihat jelas corengan di muka. Aku bisa menghitung berapa kali ia terluka. Aku juga bisa melihat siapa saja yang menanamkan benih senyum di ujung bibirnya. Dan hari ini, cemburu kugenggam dalam hati.

...

Aku tersenyum dan meneteskan air mata. Hari ini, setelah sekian lama aku kembali menggenggam tangannya, mengalirkan energi yang tiada lagi sama. Lima tahun yang lalu, kafe ini tempat kami saling menumpahkan pandangan mata.

...

Kembali kubaca pesan, “Aku hari ini bertemu dengannya, bolehkah?”

...

Sunyi kini sirna oleh tawa. Aku bisa merasakan dia bahagia, senyumnya mengembang saat ia menyebut istri dan anaknya. Akupun tak kalah girang. Aku ceritakan gadisku yang kini mulai belajar membaca.

...

Kubaca pesanku sendiri, “Pergilah, sayang. Aku menunggumu pulang.”

...

Kami berpisah di persimpangan jalan. Lima tahun yang lalu, hati kami hancur demi kebaikan semua. Tidak untuk disesali. Kini, saatnya menikmati cerita yang kami rajut sendiri, berikat dengan rajutan sebelumnya.

...

Aku tertidur sambil memeluk gadisku. Terbangun oleh belaian lembut istriku.

...

“Sudah makan, sayang?”