Sunday, April 29, 2012

Pukul Lima Pagi

Laki-laki bujang itu memasang head-set, memakai sepatu dan melayangkan tubuhnya terbebas dari pintu gerbang. Hal paling pertama yang ingin ia nikmati dalam acara jogging kali ini adalah jingga langit jam lima pagi. Ia mengangkat kepalanya menatap ufuk timur.
"Mengapa harus ada gedung-gedung tinggi merebut jingga langitku pagi ini?"
Ia menghiraukan kekecewaannya dengan menikmati sisa jingga dan kemudian menutup mata. Kali ini ia ingin mereguk melodi fajar tanpa suara sumbar. Tiba-tiba motor menderu dari belakang, mengacaukan kolaborasi jazz sayup-sayup dan kicau burung.
"Bisakah orang menghentikan semua deru mesin hanya untuk pukul lima pagi?"
Saraf sensoriknya memaksa mata untuk kembali terbuka. Bujang itu kemudian menghirup dalam-dalam udara pagi serambi berpikir bahwa sepertinya hanya kepolosan aroma udara yang masih tersisa. Seketika itu juga, wangi aroma parfum merebak di hidungnya. Ia gerang, ingin lepas bebas dari segala polusi. Ia kembali menutup matanya, membudekkan indra pendengarnya, menghiraukan indra perabanya, dan berlari kencang, berlari menuju dimensi lain, dimensi tanpa polusi.