Monday, January 28, 2013

Out of Reach

When I'm away
It doesn't mean I deny
Now and then you stay

When you're lost
The memory forever last
All laughs we shared in the past






Friday, January 18, 2013

To the Blurry End





A long way to go, unknown ending
Every human passes
Marks in each junction
Count the length of the journey

Scars all over the body
Signs of mistakes, signs of misery
Build a wiser look, a mature figure
A warior to fight the devil inside

The blurry end
A mistery, everyone said
A dead end with no turning
A finish line with no winning or loosing




Tuesday, January 8, 2013

Tertawan Dimensi


Detik berganti tahun, menghapus buram cakrawala. Tetes demi tetes haru, menyiram setia.

“Kita harus berpisah”, katamu waktu itu sambil terisak, menggenang di pikiran, menghijau, berkembang biak.

Apa salahku jika kita diciptakan berbeda? Kau ubur-ubur, dan aku elang di angkasa, sedangkan semesta mengijinkan kita bertatap muka melalui kilau air bermandikan cahaya.

“Kita tidak pernah berpisah”, kataku menimpali. “Jika hidup dan mati hampir tak berjarak, begitu pula ada dan tiada,” kataku menambahkan. Kamu terdiam, menyembunyikan isak yang semakin sering muncul. Aku ikut diam.

“Jika dengan bertemu aku bisa menangis haru, aku rela membiru,” kau tiba-tiba memulai berkata-kata. “Kita tidak pernah berpisah,” kataku lagi. “Karena lingkup kita semesta, bahkan jika benar ada kehidupan kedua, bahkan jika memang ada surga neraka.”

Aku sadar, ini saatnya kita berada dalam orbit masing-masing. Tidak ada jaminan bahwa suatu ketika kita akan berpapasan di permukaan laut seperti biasanya. Persetan dengan dentuman fisik. Kita, lebih kuat dari itu. Ya, mereka melihat kita sangat naif, tapi begitulah adanya.

“Apa yang harus kita lakukan jika kita merindu?” tanyamu waktu itu. Bebaskan dirimu jika tertawan dimensi tempat dan waktu. Akupun akan begitu. “Baiklah, sayang. Aku akan menemuimu dalam alam imaji, bolehkah sesekali kita mengajak kenangan untuk singgah?”. “Aku sama sekali tak berkeberatan,” jawabku sambil menyunggingkan senyum.

Aku meliuk di angkasa, sebagian dariku tergores. Air jernih menetes dari pelupuk mata, menyirami laut biru, bersembunyi diantara butiran hujan. Kau tak pernah akan tahu. Kulandaikan terbangku mendekati permukaan. “Aku harus pergi, sayangku. Hujan mulai lebat. Berjanjilah untuk meliuk dengan indah, menyala ketika mereka membutuhkan sinarmu dan menyengat ketika dirimu dalam bahaya.”

Kau kemudian menari di permukaan, aku melihat cahayamu, begitu menggoda. “Kau juga, sayangku,” teriakmu melengkapi melodi hujan yang menderu. “Terbanglah setinggi dan sejauh yang kau mau. Dunia diciptakan bulat untuk bisa kau kelilingi. Kau adalah Beniaaq yang memberi pertanda. Gunakan tajam penglihatanmu untuk membedakan guna dan duka.”

Aku meliuk meninggalkan tempat kita beradu, kaupun begitu, kembali kepada orbit kita yang tak sama. Sesekali singgah di pohon ketika aku lelah mengepakkan sayap. Terbang bersama elang-elang kecilku. Seperti elang yang lain, ketika usiaku empat puluh tahun, paruhku mulai bengkok, cakarku mengeras dan bulu-buluku mulai berat. Aku ingat waktu itu aku harus bertapa selama 150 hari, bertubi mematukkan paruhku ke batu hingga lepas dan menunggunya tumbuh lagi. Setelah tumbuh, kupatukkan pada cakarku yang keras, hingga mereka berganti. Dan terakhir bulu. Aku yang baru, kembali meliuk haru, membayangkan dirimu.

Detik berganti tahun, menghapus buram cakrawala. Tetes demi tetes haru, menyiram setia.

Kini tubuh kita bersentuhan, di meja penjual daging kampung pinggir pantai. Mata kita terpejam, bibir kita tersungging, menikmati indahnya lepas dari tawanan dimensi.