Monday, January 30, 2012

Mulut-Mulut Mungil

    Kusmi membayangkan kembali tubuhnya dicumbui di malam-malam ketika suaminya belum berada di liang kubur. Ia begitu mendamba masa-masa itu terulang. Usik di sampingnya membuatnya seketika terperangah. Di hadapannya kini tertidur pulas seorang anak laki-laki sembilan tahun dan gadis mungil enam tahun lebih muda dari kakaknya.

    Wanita yang baru menginjak seperempat abad itu menatap kedua mulut buah hatinya. Mulut-mulut itu, ya, mulut-mulut mungil itu yang sehari tiga kali menuntut nasi dan lauk di meja makan. Ah! Apapun rela kulakukan demi mulut-mulut itu bisa mengunyah. Tetes demi tetes air mata mengalir di kedua pipi Kusmi. Hanya gelap dan gemercik hujan yang menemaninya malam ini dengan setia. Ia cepat-cepat menyeka air matanya dengan kaos mugil berwarna jingga, tak ingin membuat anak-anaknya terjaga. Jauh di lubuk hati, kusmi berteriak-teriak memanggil suaminya, namun jawaban yang datang hanyalah bungkam.