Baginya
yang menunggu, dunia bergulat seperti ulat. Siang dan malam berupa fatamorgana.
Detik melenggang santai, tak perduli jantung yang berdegub. Kekasihku tak jua
pulang.
...
Aku
menuruni tangga yang curam, peluh mengeluh. Tempat ini, lima tahun yang lalu,
pipiku merona. Jejak kakiku masih tampak nyata. Aku mengayunkan daun pintu, membunuh
ragu, menghujam gelisah.
...
Kutatap
pintu, berharap seseorang berkunci membuka. Ah, kami sudah berkomitmen sejak
awal. Tidak perlu ada curiga, tiada dusta. Tapi, ini sudah hari ketiga ia
pulang ke kota kelahirannya.
...
Pintu
mengayun pelan dan terbuka seiring terbukanya masa lalu yang campur aduk, getir
dan bungah tiada tara.
...
Aku
bertemu dengannya di sebuah pertunjukan. Lirikannya yang tajam menusuk otakku
yang seketika buyar. Kulakukan berbagai cara untuk bisa bertemu dengannya,
kencan pertama kami pun penuh strategi.
...
Wajah
itu, masih sama, hanya guratan di kening membuatnya tampak lebih matang. Kening
yang dulu kuhujani kecupan. Aku terdiam, ia bungkam. Jarum jam berhenti
berputar. Jantung berhenti berdetak.
...
Kami
bercinta apa adanya. Tanpa bertopeng, melihat jelas corengan di muka. Aku bisa
menghitung berapa kali ia terluka. Aku juga bisa melihat siapa saja yang
menanamkan benih senyum di ujung bibirnya. Dan hari ini, cemburu kugenggam
dalam hati.
...
Aku
tersenyum dan meneteskan air mata. Hari ini, setelah sekian lama aku kembali
menggenggam tangannya, mengalirkan energi yang tiada lagi sama. Lima tahun yang
lalu, kafe ini tempat kami saling menumpahkan pandangan mata.
...
Kembali
kubaca pesan, “Aku hari ini bertemu dengannya, bolehkah?”
...
Sunyi
kini sirna oleh tawa. Aku bisa merasakan dia bahagia, senyumnya mengembang saat
ia menyebut istri dan anaknya. Akupun tak kalah girang. Aku ceritakan gadisku
yang kini mulai belajar membaca.
...
Kubaca
pesanku sendiri, “Pergilah, sayang. Aku menunggumu pulang.”
...
Kami
berpisah di persimpangan jalan. Lima tahun yang lalu, hati kami hancur demi
kebaikan semua. Tidak untuk disesali. Kini, saatnya menikmati cerita yang kami
rajut sendiri, berikat dengan rajutan sebelumnya.
...
Aku
tertidur sambil memeluk gadisku. Terbangun oleh belaian lembut istriku.
...
“Sudah makan, sayang?”
No comments:
Post a Comment