Tuesday, February 5, 2013

Rajutan Berikat



Baginya yang menunggu, dunia bergulat seperti ulat. Siang dan malam berupa fatamorgana. Detik melenggang santai, tak perduli jantung yang berdegub. Kekasihku tak jua pulang.
...

Aku menuruni tangga yang curam, peluh mengeluh. Tempat ini, lima tahun yang lalu, pipiku merona. Jejak kakiku masih tampak nyata. Aku mengayunkan daun pintu, membunuh ragu, menghujam gelisah.
...

Kutatap pintu, berharap seseorang berkunci membuka. Ah, kami sudah berkomitmen sejak awal. Tidak perlu ada curiga, tiada dusta. Tapi, ini sudah hari ketiga ia pulang ke kota kelahirannya.
...

Pintu mengayun pelan dan terbuka seiring terbukanya masa lalu yang campur aduk, getir dan bungah tiada tara.
...

Aku bertemu dengannya di sebuah pertunjukan. Lirikannya yang tajam menusuk otakku yang seketika buyar. Kulakukan berbagai cara untuk bisa bertemu dengannya, kencan pertama kami pun penuh strategi.

...

Wajah itu, masih sama, hanya guratan di kening membuatnya tampak lebih matang. Kening yang dulu kuhujani kecupan. Aku terdiam, ia bungkam. Jarum jam berhenti berputar. Jantung berhenti berdetak.

...

Kami bercinta apa adanya. Tanpa bertopeng, melihat jelas corengan di muka. Aku bisa menghitung berapa kali ia terluka. Aku juga bisa melihat siapa saja yang menanamkan benih senyum di ujung bibirnya. Dan hari ini, cemburu kugenggam dalam hati.

...

Aku tersenyum dan meneteskan air mata. Hari ini, setelah sekian lama aku kembali menggenggam tangannya, mengalirkan energi yang tiada lagi sama. Lima tahun yang lalu, kafe ini tempat kami saling menumpahkan pandangan mata.

...

Kembali kubaca pesan, “Aku hari ini bertemu dengannya, bolehkah?”

...

Sunyi kini sirna oleh tawa. Aku bisa merasakan dia bahagia, senyumnya mengembang saat ia menyebut istri dan anaknya. Akupun tak kalah girang. Aku ceritakan gadisku yang kini mulai belajar membaca.

...

Kubaca pesanku sendiri, “Pergilah, sayang. Aku menunggumu pulang.”

...

Kami berpisah di persimpangan jalan. Lima tahun yang lalu, hati kami hancur demi kebaikan semua. Tidak untuk disesali. Kini, saatnya menikmati cerita yang kami rajut sendiri, berikat dengan rajutan sebelumnya.

...

Aku tertidur sambil memeluk gadisku. Terbangun oleh belaian lembut istriku.

...

“Sudah makan, sayang?”

No comments:

Post a Comment