Pagi menyapa dengan remang dari balik jendela. Rintik salju
masih menghiasi panorama. Aku menghangat dengan ingatan tentangmu, tentang
kita. Ah, itu hanya bahasaku saja. Mungkin kau sama sekali tak pernah mengenal
kita. Aku saja yang pandai bicara.
Aku benci menceritakannya sendiri. Aku juga ingin mendengar rasamu,
meskipun kini, lidahku lebih pekat akan ragu. Apakah kau merasa? Sudahlah, aku
simpan sendiri saja.
Tidak, aku ingin mendengar lagumu. Menikmati melodimu. Meski
dengan mengigil kelu, kau menyanyikan asmara untuknya. Bukan tentang kita. Aku
patah, bertubi.
Kau masih saja datang padaku. Menikmati setiap jengkal
tubuhku. Katamu, nikmat itu membuatmu lalai akan luka. Akukah penyembuh luka,
sayang? Bukan, tubuhku laksana ganja. Aku, hanya asap bagimu, menguap dan enyah
ditelan udara.
Kakiku lunglai, mencinta tak lagi dengan melompat atau berlari.
Aku tak sanggup membenci, maka kupilih berhenti, membeku ditempat. Membiarkanmu
sibuk dengan luka, asik dengan hasrat semu.
Aku mencintamu menjelma
senja
Malu bersembunyi mengufuk jingga
Aku merindumu menjelma
salju
Memancar cahaya beku
No comments:
Post a Comment