Bagi
ibu setengah baya itu aku adalah anak yang berbakti. Mengunjunginya setiap
akhir pekan dan membawakan oleh-oleh. Mengajak serta kedua anakku untuk meramaikan
halaman. Ibu menjelang enam puluh tahun itu tidak pernah lupa masakan
favoritku. Dan kini, ia disibukkan dengan masakan favorit anak-anakku. Ia tak
pernah tahu bertapa sering aku ingin menjadi sepertinya yang aku tak pernah bisa. Aku
ingin berhati sutera bukan baja.
Bagi laki-laki berkacamata itu aku adalah seseorang yang
ia impikan setiap malam, ketika istrinya terlelap dan menikmati bunga mimpi
yang lain. Lali-laki itu belum paham bahwa dirinya kini telah menjadi bab awal buku
tebalku. Begitu banyak yang mengisi bab-bab selanjutnya, hingga aku hanya
terkadang menengoknya atau bahkan lupa. Seringkali ingin aku
berkata, istrimu lebih cantik berjuta jika saja kau lebih membuka mata.
Bagi gadis menjelang dua puluh tahun itu, aku adalah
kakak yang menyebalkan. Selalu membuatnya iri hati karena kelebihan yang aku
miliki. Ia belum mengerti bahwa Tuhan yang maha adil menjadikan kelebihan berdampingan
dengan kelemahan seperti dua kutub yang saling berpeluk erat.
Bagi Tuhanku, aku adalah hambanya yang terkadang alpa.
Ia melihatku tanpa kelambu sambil menatap sekelilingku. Ibu setengah baya,
laki-laki berkacamata dan gadis menjelang dua puluh tahun itu kini
mengelilingiku sambil terisak. Tubuhku kini berselimut kain putih bukan sutera.
No comments:
Post a Comment