Detik berganti tahun, menghapus buram cakrawala. Tetes
demi tetes haru, menyiram setia.
“Kita harus berpisah”, katamu waktu itu sambil
terisak, menggenang di pikiran, menghijau, berkembang biak.
Apa salahku jika kita diciptakan berbeda? Kau
ubur-ubur, dan aku elang di angkasa, sedangkan semesta mengijinkan kita
bertatap muka melalui kilau air bermandikan cahaya.
“Kita tidak pernah berpisah”, kataku menimpali. “Jika
hidup dan mati hampir tak berjarak, begitu pula ada dan tiada,” kataku
menambahkan. Kamu terdiam, menyembunyikan isak yang semakin sering muncul. Aku
ikut diam.
“Jika dengan bertemu aku bisa menangis haru, aku rela
membiru,” kau tiba-tiba memulai berkata-kata. “Kita tidak pernah berpisah,”
kataku lagi. “Karena lingkup kita semesta, bahkan jika benar ada kehidupan
kedua, bahkan jika memang ada surga neraka.”
Aku sadar, ini saatnya kita berada dalam orbit
masing-masing. Tidak ada jaminan bahwa suatu ketika kita akan berpapasan di
permukaan laut seperti biasanya. Persetan dengan dentuman fisik. Kita, lebih
kuat dari itu. Ya, mereka melihat kita sangat naif, tapi begitulah adanya.
“Apa yang harus kita lakukan jika kita merindu?”
tanyamu waktu itu. Bebaskan dirimu jika tertawan dimensi tempat dan waktu.
Akupun akan begitu. “Baiklah, sayang. Aku akan menemuimu dalam alam imaji,
bolehkah sesekali kita mengajak kenangan untuk singgah?”. “Aku sama sekali tak
berkeberatan,” jawabku sambil menyunggingkan senyum.
Aku meliuk di angkasa, sebagian dariku tergores. Air
jernih menetes dari pelupuk mata, menyirami laut biru, bersembunyi diantara
butiran hujan. Kau tak pernah akan tahu. Kulandaikan terbangku mendekati
permukaan. “Aku harus pergi, sayangku. Hujan mulai lebat. Berjanjilah untuk
meliuk dengan indah, menyala ketika mereka membutuhkan sinarmu dan menyengat
ketika dirimu dalam bahaya.”
Kau kemudian menari di permukaan, aku melihat
cahayamu, begitu menggoda. “Kau juga, sayangku,” teriakmu melengkapi melodi
hujan yang menderu. “Terbanglah setinggi dan sejauh yang kau mau. Dunia
diciptakan bulat untuk bisa kau kelilingi. Kau adalah Beniaaq yang memberi
pertanda. Gunakan tajam penglihatanmu untuk membedakan guna dan duka.”
Aku meliuk meninggalkan tempat kita beradu, kaupun
begitu, kembali kepada orbit kita yang tak sama. Sesekali singgah di pohon
ketika aku lelah mengepakkan sayap. Terbang bersama elang-elang kecilku. Seperti
elang yang lain, ketika usiaku empat puluh tahun, paruhku mulai bengkok,
cakarku mengeras dan bulu-buluku mulai berat. Aku ingat waktu itu aku harus
bertapa selama 150 hari, bertubi mematukkan paruhku ke batu hingga lepas dan
menunggunya tumbuh lagi. Setelah tumbuh, kupatukkan pada cakarku yang keras,
hingga mereka berganti. Dan terakhir bulu. Aku yang baru, kembali meliuk haru,
membayangkan dirimu.
Detik berganti tahun, menghapus buram cakrawala.
Tetes demi tetes haru, menyiram setia.
Kini tubuh kita bersentuhan, di meja penjual daging
kampung pinggir pantai. Mata kita terpejam, bibir kita tersungging, menikmati
indahnya lepas dari tawanan dimensi.
No comments:
Post a Comment