Ibu, kini aku sudah berada di pijakan tanah yang berbeda darimu, entah berapa ribu mill membentang. Cucu laki-lakimu saat ini sedang pulas disampingku, Untunglah, jadi aku punya waktu menulis email. Wah, bibir mungil cucumu tersenyum lebar, terlihat gantheng seperti ayahnya. Baru kemarin, senyum itu bertransformasi menjadi tawa. Ya, kemarin, di rumah dimana aku menghabiskan tahun-tahun masa bermainku, rumah dimana tubuh dan jiwaku mendewasa. Cucumu sungguh menikmati segalanya tentang rumah itu, Bu, setiap sudut dan setiap detil di setiap ruang. Hmm… saat kami harus pergi pun, engkau tahu ia masih merengek meminta tinggal lebih lama. Nempel terus dia sama ibu. Bahkan tadi pagi seketika setelah bangun tidur Ditto-ku sudah menanyakanmu. “Uti mana, Bund?” pertanyaan itulah yang pertama kali muncul ketika kedua matanya terbuka. Kasihan…
Ibuku cintaku pujaan hatiku, tiba-tiba aku jadi ingat pertama kali aku harus pergi dari rumah itu (Aku menyebutnya pergi karena bagiku pulang hanyalah ketika aku kembali berada di sampingmu). Kau bilang aku akan lebih bahagia bersama suamiku, ya Bu, ini manivestasi pengabdianku kepada Allah. Aku tahu, aku tahu, tanpa kau beritahupun aku sudah tahu. Yang aku tak tahu hanya bagaimana perasaanmu dibalik senyuman bahagia itu. Apakah kau baik-baik saja ketika mengetahui kita akan sangat jarang bertemu? Siapa lagi yang akan menemanimu memasak, membantumu mencuci piring, menjadi pendengar setia? Dan kemarin, ya, kemarin, tiga tahun setelah hari kepergianku waktu itu, dihari yang sama ketika cucu laki-lakimu tertawa bebas lepas berlarian, aku melihat sesosok wanita duduk di kursi kesayangannya, Bu. Aku sungguh membenci tatapan kosongnya, mengutuk kerut di keningnya, menghujat bibirnya yang mengatup. Engkau pasti tahu kenapa karena hanya ada satu alasan, ia ibuku…
Ibu, terhitung tiga puluh tahun lebih perkawinanmu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang selama ini kupanggil “Bapak”. Laki-laki yang mewariskan keras kepalanya padaku. Selama itu tak juga kulihat kau menangis terharu, yang kudengar hanyalah kesah dan yang kulihat hanyalah tangis pilu. Menyesalkah kau menikah dengannya? Hmm, kau ucapkan itu berjuta kali, namun ragamu menolak. Cintamu cinta platonik, Bu. Tak perduli berapa kali kau tersakiti, tubuhmu akan tetap disana, menemaninya, membuatkannya kopi nasgitel setiap pagi, menanak nasi untuknya meski terkadang ia tak acuh dan memilih sajian asing entah dengan siapa.
Ibu, kalau saja aku dirimu. Aku sudah menendangnya enyah dari hidupku, takkan kubiarkan ia hadir dalam sejengkal pandanganku. Demi Allah, Bu. Takkan sudi kusebut namanya. Namun bibirmu itu, Bu, tak henti-hentinya menyebut namanya demi memanjatkan munajat, demi perubahan yang tak jua kunjung datang, demi hidayah yang tak jua menyapa. Engkau terlalu bodoh untuk tidak memilih egois, untuk lebih mempertimbangkan masa depan anak-anakmu. Hanya dengan melihatmu saja, aku sudah terlampau lelah. Ya, terkadang aku berpikir engkau terlampau amat sangat bodoh.
Ibu, selama ini anakmu ini hanya melawan dengan diam, perlawanan minimalis yang begitu sempurna. Bukan karena menyerah, Engkau tahu aku sudah jengah. Kata-kata laki-laki itu dan keseluruhan backsoundnya masih menjadi top ten play list di otakku. “Jadi selama ini kamu disekolahkan tinggi-tinggi hasilnya begini, huh? Untuk menggurui orang tua? Hebat!” Sayup-sayup adzan yang menggema ketika itu meronta ditelan pekat. Menantang ego, mencekik harga diri, membunuh gengsi, menawar harga mati, tak sedikitpun aku gentar, Bu. Namun entah, bibirku terkunci. Bukan karena rasa sakit yang membuatku tak sanggup. Bahkan hatiku telah mati rasa. Salahkan saja sang malam, ya, sang malam biang keladinya, membuat benakku gelap hingga tak dapat lagi mengenali sosok di depanku. Aku muak dengan dalihnya, Bu. Laki-laki itu boleh saja bersilat lidah, tapi sungguh aku heran, ia tidak menyadari lidahnya telah menghisap habis darah kepercayaan dalam tubuhku, anaknya. Tiada bersisa. Ya, biarkan saja terus berdalih selama mulut belum dikunci dengan tanah.
Ibu, aku sudah berulangkali patah hati, dan aku tahu rasanya hampir gila. Lebih lagi ketika aku justru menjauhiNya. Tapi, kapanpun itu, aku bisa kembali pulih, kembali mencinta dan berbunga-bunga hingga akhirnya aku bertemu satu-satunya menantu lelakimu. Sedangkan engkau, Bu, haruskah seumur hidup kau menanggung patah hati? Tak maukah kau berhenti barang sejenak? “Perceraian”, aku sendiri sering memikirkannya. Itukah satu-satunya happy ending? Haruskah sesuatu yang paling dibenci oleh Allah menjadi sebuah jalan keluar? Jujur aku tak berkeberatan jika itu indah bagimu. Kadang kau tampak begitu lelah, “Ibu sudah tak sanggup lagi, Nduk,” katamu. Tapi bertapapun engkau lelah, engkau tetap kembali tersenyum, meski terkadang senyum itu palsu sepalsu-palsunya, hanya untuk anak-anakmu. “Maktub”, semuanya sudah tertulis dan segala hal di dunia ini ditulis oleh tangan yang sama. Ternyata oh ternyata jodohmu dengannya masih termaktub. Jadi lebih baik kita tertawa, Bu, karena tertawa lebih menyenangkan. Tak terhitung masalah yang sudah terlahir sebesar gunung, tapi bukankah setiap manusia menggenggam dua buah kunci, tinggal kunci mana yang akan ia pergunakan, kunci yang bertahtakan “tertawa” atau “menangis”. Ingatkah ketika engkau melemparku dengan bantal dan berteriak-teriak sambil merengek ingin ikut eyang kakung yang sekarang masih berada di alam kubur? Alam sadarmu tergoncang hebat dan berada di titik puncak. Setahuku stess hanya berakibat dua hal: menjadi gila atau menggila. Waktu itu engkau hampir memilih pilihan pertama, syukurlah kesempatan untuk pilihan kedua masih sedikit terbuka dan engkau berhasil memasuki celah sempit yang tersisa. Menggila saja, Bu, tertawa saja, karena dalam tawa ada sujud dan syukur. Lepaskan saja segala hal diluar kuasa kita, bebaskan, seperti manusia dengan angin, manusia tidak akan pernah berusaha menggenggam, hanya cukup merasakan sentuhannya, terlengkapi, dan kemudian menganggapnya angin lalu. Karena toh ini hanyalah dunia. Ah, tentulah engkau lebih tahu, tertawa itu selaksa aspirin.
Ibu, bagaimanapun bencinya aku pada laki-laki itu, jauh, jauh di palung hati, anakmu ini tidak pernah ikhlas. Tidak akan pernah, Bu, tidak akan pernah ikhlas orang itu harus menderita dalam dua dunia sekaligus. Tidak akan pernah, Bu. Aku membenci kelakuannya, sikapnya, kata-katanya, tapi aku begitu menyayangi rasa bersalahnya yang selalu mencuat dari kedua matanya yang terlihat nanar. Aku tahu dia juga menderita, Bu. Hidupnya tak bakal bisa tenang. Tapi, ia terlalu lemah untuk berhadapan dengan dirinya sendiri, Bu. Dan dunia ini yang selaksa air laut ia minum banyak-banyak, semakin banyak ia minum semakin haus tenggorokannya. Haruskah dengan cara dipisahkan dari dunia baru ia bersujud dengan hati dan jiwa? Dan ketika itu semuanya sudah akan terlambat. Sia-sia… Naudzubillah…
Ibu, aku seringkali membantahmu, tak terhitung banyaknya ya? Aku ini yang berotak batu. Hingga aku tahu rasanya mengurus rumah, dari memasak hingga menyikat WC. Hingga aku tahu rasanya oseng-oseng kangkung-ku tak laku dimakan. Hingga aku tahu sepinya berada dirumah seorang diri. Hingga aku tahu nikmatnya kekasihku mebalas air susu dengan air comberan. Hingga aku tahu sakitnya menantang maut ketika melahirkan. Hingga aku tahu indahnya menjadi ibu. Hingga aku tahu getirnya dibantah oleh anakku sendiri, darah dagingku. Aku bergidik ngeri, Bu. Berjuta maaf… ketika itu sungguh aku tak tahu.
Ibu, terkadang aku melihatmu menjadi sesosok malaikat. Malaikat dari langit, malaikat yang Allah kirimkan untukku. Tapi aku buramkan penglihatanku, Bu. Aku begitu takut, takut engkau akan kembali ke asalmu, dan aku menghapus penglihatanku seketika aku sepenuhnya sadar bahwa dunia bukanlah tempat malaikat bernaung. Aku masih butuh waktu, Bu, untuk mengabdi padamu, memunculkan sedikit saja senyum pada bibirmu. Dan kemudian terkadang kau mengeluh bahkan mengumpat, ah… senangnya hatiku karena ternyata engkau masih manusia dan dalam ketidaksempurnaanmu sungguh engkau sempurna menjadi ibuku. Dalam sujudku aku selalu berdo’a, Bu. Agar engkau atas izin Allah meridhaiku sebagai bayi yang menghisap air susumu. Dan aku juga merengek agar Allah mengizinkanku cinta secinta-cintanya padamu…
Ibu, anakku terbangun dan menangis, pasti ia haus. Aku menyusui dulu ya, Bu. Jadilah cuek bebek fans club sejati. Aku dukung sepenuh hati. Dua minggu lagi aku pulang, kita masak sop iga lagi ya? ^^, Emmuach!
Jariku meliuk di permukaan touch pad, membuat sebuah ketukan, kemudian muncul sebuah notification: Your message has been sent.
' รพ F Mom '
No comments:
Post a Comment