Dulu
kita pernah bertemu hanya mata saja yang tertuju
Tidak
ada benih yang ditabur, namun sinar matahari membuatnya subur
Tanah
kering dihinggapi embun, demi restu daun, membasahi hingga tunasnya
Tumbuh,
besar dan sejuk hingga ke degup dan nafas yang berlalu
Kian
lama berbuah, tiap pagi mengerling embun yang pernah membesarkannya,
Sesekali
menyiraminya dari rindu pada tengah malam
Sekarang
saatnya meninggalkan pohon,
Membiarkan
buahnya untuk kehidupan sekitarnya
Kelak
jika bertemu lagi, kita petik sendiri
Menikmati
dibawahnya sambil bercerita
Kehidupan, yang nanti kita lewatkan... dari yang kita
tinggalkan...
Ada yang
hilang, tapi tak tampak redup. Ada yang tertinggal, tapi terus mengikuti. Ada
yang ingin bertemu, tapi senantiasa mendekati. Mereka hanya ingin bertatap muka
meski sedetik, karena energi keduanya saling mengisi.
Di depan rumah matahari tenggelam, dua pohon maple
rukun berdampingan. Menaungi ayunan yang berayun genit tanpa dorongan. Kedua
sejoli itu berbicara dalam diam, dengan bahasa daun gugur, hampir tak
terdengar. Sesekali mereka tersenyum, terkadang tertunduk malu. Jantung
berdegub, berirama merdu. Rumah itu bukan hanya saksi, tapi pendengar setia percakapan
tanpa kata.
“Sekarang saatnya aku terbenam, di rumah
matahari tenggelam,” lirih, menyatu bersama sepoi angin senja.
“Aku pasang bulan untuk menerangimu sekarang.”
...Purnama berganti, senja kembali
mengecup matahari...
“Tahukah mengapa aku selalu ingin berdekatan dengan
kamu dan kata? Kamu dan kata, sama-sama indah. Untuk memulai kata, seperti menyemai. Berbuah
dan merawatnya. Hingga dipetik, untuk mengetahui rasanya.”
“Rasa, berlangsung selama ia tumbuh. Debar
pertama, bungah kejutan, gelisah penantian.”
“Aku kini hanya bisa mengamati buah kata itu
tumbuh. Apalagi pagi ketika embun mendekapnya. Terkadang aku ingin menguap
dengan embun, saat mentari menjemputnya.”
“Biarkan ia tumbuh, di depan rumah kita, rumah
matahari tenggelam. Rumah yang tidak selamanya kita tinggali, namun kapanpun
bisa kita kunjungi.”
...Dentuman fisik terhalang jiwa-jiwa petualang...
“Kalau aku pulang ke rumah kita, boleh aku memeluk
kamu?”
“Memeluk kamu mungkin lebih dari yang aku kira.”
“Pelukan bisa bermacam-macam, seperti
tangan kita berpelukan, imaji kita berpelukan, tatapan kita berpelukan, atau
tubuh kita berpelukan. Entah, saat ini aku menginginkan yang terakhir. Maaf.”
“Ada satu lagi yang ingin kulakukan saat
ketemu kamu lagi. Mencium keningmu. Jika tidak berkenan, kucium pakai pandangan
mata ke dahi.”
“Kamu boleh saja mencium keningku. Tapi
jangan salahkan jika aku membeku.”
“Beku itu akan kulelehkan dengan
pelukan. Jika tak juga berkutik, aku akan menyelamatkanmu dari logika, yang tak
pernah mengerti kita.”
“Aku membayangkan diriku seperti lilin
abadi dalam pelukanmu, hangat, meleleh, dan bersinar tak pernah padam.”
“Aku terkadang tak bisa melihat jelas
meski terang. Tetapi aku juga tidak bisa menentukan arah saat gelap. Kapan aku
harus menyalakan kamu?”
“Saat kamu hampir tenggelam di ufuk dan
kegelapan mulai merajuk, nyalakan aku selaksa senja.”
“Ada bintang, bulan, dan batu angkasa
yang jatuh ke bumi. Semua memercik cahaya kecil, ada yang lama dan sebentar.
Kamu bersinar seberapa lama?”
“Maaf, aku tidak bisa menjanjikanmu
cahaya seperti yang kau berikan padaku, sepanjang hari. Sinarku tak berlangsung
lama. Yang bisa kujanjikan adalah spektrum warna yang bisa kau nikmati meski
sekejap. Aku hadir antara siang dan malam, untukmu bisa menyatu dengan gelap
dan tenggelam dalam lelap. Apakah itu cukup bagimu, sayangku?”
“Jika gelap, yang aku nyalakan seketika
adalah lilin. Kamu menari dari api, bahkan pendarnya meraba aku. Dari ujung
kaki ke ujung rambut. Kuning, memerah dari nyala sumbu. Meski panas, rasanya
ingin aku sentuh. Tapi apakah kulitku akan melepuh?”
...Pulang dalam bayang-bayang, terbang melayang, inikah kayangan?...
“Sejak kau beri bunga tulip tadi, rasanya aku ingin
menciummu seketika. Menyirami bibirmu, hingga tanahnya basah dengan cukup,
tidak lebih. Kuncupnya kuhirup dari lidahmu. Sampai mata tertutup karena pasrah
dengan merah meronanya.”
“Kuncupnya mulai memerah, sayang. Seiring pipi yang
malu merona.”
“Jika memerah, bibirku lantas menyentuh tangkainya.
Kulitnya wangi, sampai hidungku menegang. Daun telinganya kuhinggapi, seraya
membisiki, ‘Kau seksi sekali.’”
“Apakah kau benar berpikir bahwa aku seksi?”
“Aku tahu perlu waktu untuk menumbuhkan tulip. Tidak
gampang, maka kurawat rasa ini dengan sabar. Sinar matahari agaknya cukup
menyinari, maka aku tatap lagi seberapa jauh aku pantas menikmati. Bermula dari
tabiatmu aku sudah terlena. Bibirmu menari, diam-diam aku perhatikan. Kerutnya
mengerling, seperti ada bulu-bulu lembut menggoda dari gerakan bibir. Terkadang
saat kamu terus bicara, aku ingin membungkam dengan lidahku. Kudapati jarimu
memetik gitar. Seketika aku ingin jarimu itu menoreh ke dadaku, sampai ke
leherku. Mencekikku dengan lembut dan mendesahkan nafasmu ke hidungku. Aku
butuh hembusanmu, bukan udara. Andai saja gitar yang kumainkan adalah kamu.
Terlentang saat kamu jatuh, menyerahkan diri kepadaku tetapi tetap menjaga
tanganku bertindih punggungmu. Kamu bisa mengayun sesukamu. Sampai kau kuasai
aku terlentang tak berdaya. Seseksi itulah beberapa dari kamu, sampai kau
adalah ratu yang sesungguhnya, seorang Rani yang mampu menguasai aku setangguh
apapun. Ah, sudahlah. Aroma tubuhmu menegangkan aku.”
“Sayang, kini aku berada diantara gelisah dan tak mau
lepas.”
“Jika tak mau lepas. Kulepas gelora ini dari
menjelajah unjung rambut hingga ke ujung kakimu. Aku bertekuk lutut kepadamu.
Supaya gelisah ini selesai, kemudian hanya pelukan sampai pagi.”
“Karena kita di luar angkasa? Tiada lagi bumi untuk
dipijak dan langit bukan lagi selubung.”
“Cumbui aku ganti selagi kita tak sedang di bumi.”
“Seringkali matamu terlalu tajam menusuk. Tahukah kau
jantungku hampir tak kuasa menahan desir yang bergejolak? Aku ingin memusnahkan
pandanganmu dengan bibirku, dan memelukmu supaya kau bisa rasakan debarku tanpa
kuharus berkata-kata. Jarimu yang serba bisa itu, ingin kumainkan dengan
jariku, ketika bibir kita beradu. Gravitasi selalu kuat menarikku, sayang. Apa
yang harus kulakukan?”
“Kita sudah berdekapan. Aku merasakan hangatmu yang
kian meninggi. Kita sampai mengeluarkan peluh. Boleh aku singkirkan ribuan
tulip yang menutupi tubuhmu?”
“Ya, lihat aku apa adanya, tanpa kelambu, tanpa
pura-pura.”
“Lalu aku melihat buntaian sutra serupa kulitmu. Aku
meletakkan kepalaku di perutmu, detak jantungmu berdegup seperti meminta aku
melakukan sesuatu. Apa itu, katakan?”
“Putuskan gravitasiku dengan bumi, meski sementara,
karna aku sudah menggelora. Kamu penghantar panas yang sempurna.”
“Kamu terus menguasaiku hingga kini kau seperti awan.
Aku melihatmu dari bawah, aku cecap atap perutmu, seperti haus setelah
perjalanan panjang.”
“Seberapa haus, sayang? Aku sediakan minuman hingga
hilang dahagamu, hingga lepas kering di pangkal lehermu.”
“Sayang, kenapa tubuh kita kian membuncah?
Sampai-sampai kamu berbalik menjadi tanah. Kini aku menjadi awan, kembali
kusiran dari dua matamu sampai pada surga ragawi. Bimbing aku karena ku sampai
menutup mata. Sampai mana dirimu menjamah?”
“Kau tahu hakikat tanah adalah pasrah, menerima basah
dari tetesan awan yang beribu. Menyerapnya dalam-dalam supaya kembali subur.”
“Jika sampai ke puncak awan ke tujuh, pegang aku
sekuat mungkin. Siap sayang? Aku sudah memegang erat tubuhmu.”
“Aku siap terbang, bersamamu, tanpa ragu.”
“Kini kita sampai, begitu pelan dan lembut kita
melepas. Raga tanpa sutera, menjadi manusia sebagai apa adanya. Lihatlah
pemandangan dibawah, indah bukan?”
“Apakah sekarang saatnya kita kembali ke bumi,
sayang? Apakah akan baik-baik saja disana?”
“Kita tandai awan ini, supaya nanti bisa kembali.
Karena kita harus kembali ke bumi. Semua akan baik, selama kita merawat tanah,
air, udara dan api dari hati.”
No comments:
Post a Comment