Friday, October 26, 2012

Rumah Matahari Tenggelam



Dulu kita pernah bertemu hanya mata saja yang tertuju
Tidak ada benih yang ditabur, namun sinar matahari membuatnya subur
Tanah kering dihinggapi embun, demi restu daun, membasahi hingga tunasnya
Tumbuh, besar dan sejuk hingga ke degup dan nafas yang berlalu

Kian lama berbuah, tiap pagi mengerling embun yang pernah membesarkannya,
Sesekali menyiraminya dari rindu pada tengah malam

Sekarang saatnya meninggalkan pohon,
Membiarkan buahnya untuk kehidupan sekitarnya
Kelak jika bertemu lagi, kita petik sendiri
Menikmati dibawahnya sambil bercerita
Kehidupan, yang nanti kita lewatkan... dari yang kita tinggalkan...




Ada yang hilang, tapi tak tampak redup. Ada yang tertinggal, tapi terus mengikuti. Ada yang ingin bertemu, tapi senantiasa mendekati. Mereka hanya ingin bertatap muka meski sedetik, karena energi keduanya saling mengisi.
Di depan rumah matahari tenggelam, dua pohon maple rukun berdampingan. Menaungi ayunan yang berayun genit tanpa dorongan. Kedua sejoli itu berbicara dalam diam, dengan bahasa daun gugur, hampir tak terdengar. Sesekali mereka tersenyum, terkadang tertunduk malu. Jantung berdegub, berirama merdu. Rumah itu bukan hanya saksi, tapi pendengar setia percakapan tanpa kata.

 “Sekarang saatnya aku terbenam, di rumah matahari tenggelam,” lirih, menyatu bersama sepoi angin senja.

 “Aku pasang bulan untuk menerangimu sekarang.”


...Purnama berganti, senja kembali mengecup matahari...


“Tahukah mengapa aku selalu ingin berdekatan dengan kamu dan kata? Kamu dan kata, sama-sama indah. Untuk memulai kata, seperti menyemai. Berbuah dan merawatnya. Hingga dipetik, untuk mengetahui rasanya.”

“Rasa, berlangsung selama ia tumbuh. Debar pertama, bungah kejutan, gelisah penantian.”

“Aku kini hanya bisa mengamati buah kata itu tumbuh. Apalagi pagi ketika embun mendekapnya. Terkadang aku ingin menguap dengan embun, saat mentari menjemputnya.”

“Biarkan ia tumbuh, di depan rumah kita, rumah matahari tenggelam. Rumah yang tidak selamanya kita tinggali, namun kapanpun bisa kita kunjungi.”


...Dentuman fisik terhalang jiwa-jiwa petualang...


“Kalau aku pulang ke rumah kita, boleh aku memeluk kamu?”

“Memeluk kamu mungkin lebih dari yang aku kira.”

“Pelukan bisa bermacam-macam, seperti tangan kita berpelukan, imaji kita berpelukan, tatapan kita berpelukan, atau tubuh kita berpelukan. Entah, saat ini aku menginginkan yang terakhir. Maaf.”

“Ada satu lagi yang ingin kulakukan saat ketemu kamu lagi. Mencium keningmu. Jika tidak berkenan, kucium pakai pandangan mata ke dahi.”

“Kamu boleh saja mencium keningku. Tapi jangan salahkan jika aku membeku.”

“Beku itu akan kulelehkan dengan pelukan. Jika tak juga berkutik, aku akan menyelamatkanmu dari logika, yang tak pernah mengerti kita.”

“Aku membayangkan diriku seperti lilin abadi dalam pelukanmu, hangat, meleleh, dan bersinar tak pernah padam.”

“Aku terkadang tak bisa melihat jelas meski terang. Tetapi aku juga tidak bisa menentukan arah saat gelap. Kapan aku harus menyalakan kamu?”

“Saat kamu hampir tenggelam di ufuk dan kegelapan mulai merajuk, nyalakan aku selaksa senja.”

“Ada bintang, bulan, dan batu angkasa yang jatuh ke bumi. Semua memercik cahaya kecil, ada yang lama dan sebentar. Kamu bersinar seberapa lama?”

“Maaf, aku tidak bisa menjanjikanmu cahaya seperti yang kau berikan padaku, sepanjang hari. Sinarku tak berlangsung lama. Yang bisa kujanjikan adalah spektrum warna yang bisa kau nikmati meski sekejap. Aku hadir antara siang dan malam, untukmu bisa menyatu dengan gelap dan tenggelam dalam lelap. Apakah itu cukup bagimu, sayangku?”

“Jika gelap, yang aku nyalakan seketika adalah lilin. Kamu menari dari api, bahkan pendarnya meraba aku. Dari ujung kaki ke ujung rambut. Kuning, memerah dari nyala sumbu. Meski panas, rasanya ingin aku sentuh. Tapi apakah kulitku akan melepuh?”


...Pulang dalam bayang-bayang, terbang melayang, inikah kayangan?...


“Sejak kau beri bunga tulip tadi, rasanya aku ingin menciummu seketika. Menyirami bibirmu, hingga tanahnya basah dengan cukup, tidak lebih. Kuncupnya kuhirup dari lidahmu. Sampai mata tertutup karena pasrah dengan merah meronanya.”

“Kuncupnya mulai memerah, sayang. Seiring pipi yang malu merona.”

“Jika memerah, bibirku lantas menyentuh tangkainya. Kulitnya wangi, sampai hidungku menegang. Daun telinganya kuhinggapi, seraya membisiki, ‘Kau seksi sekali.’”

“Apakah kau benar berpikir bahwa aku seksi?”

“Aku tahu perlu waktu untuk menumbuhkan tulip. Tidak gampang, maka kurawat rasa ini dengan sabar. Sinar matahari agaknya cukup menyinari, maka aku tatap lagi seberapa jauh aku pantas menikmati. Bermula dari tabiatmu aku sudah terlena. Bibirmu menari, diam-diam aku perhatikan. Kerutnya mengerling, seperti ada bulu-bulu lembut menggoda dari gerakan bibir. Terkadang saat kamu terus bicara, aku ingin membungkam dengan lidahku. Kudapati jarimu memetik gitar. Seketika aku ingin jarimu itu menoreh ke dadaku, sampai ke leherku. Mencekikku dengan lembut dan mendesahkan nafasmu ke hidungku. Aku butuh hembusanmu, bukan udara. Andai saja gitar yang kumainkan adalah kamu. Terlentang saat kamu jatuh, menyerahkan diri kepadaku tetapi tetap menjaga tanganku bertindih punggungmu. Kamu bisa mengayun sesukamu. Sampai kau kuasai aku terlentang tak berdaya. Seseksi itulah beberapa dari kamu, sampai kau adalah ratu yang sesungguhnya, seorang Rani yang mampu menguasai aku setangguh apapun. Ah, sudahlah. Aroma tubuhmu menegangkan aku.”

“Sayang, kini aku berada diantara gelisah dan tak mau lepas.”

“Jika tak mau lepas. Kulepas gelora ini dari menjelajah unjung rambut hingga ke ujung kakimu. Aku bertekuk lutut kepadamu. Supaya gelisah ini selesai, kemudian hanya pelukan sampai pagi.”

“Karena kita di luar angkasa? Tiada lagi bumi untuk dipijak dan langit bukan lagi selubung.”

“Cumbui aku ganti selagi kita tak sedang di bumi.”

“Seringkali matamu terlalu tajam menusuk. Tahukah kau jantungku hampir tak kuasa menahan desir yang bergejolak? Aku ingin memusnahkan pandanganmu dengan bibirku, dan memelukmu supaya kau bisa rasakan debarku tanpa kuharus berkata-kata. Jarimu yang serba bisa itu, ingin kumainkan dengan jariku, ketika bibir kita beradu. Gravitasi selalu kuat menarikku, sayang. Apa yang harus kulakukan?”

“Kita sudah berdekapan. Aku merasakan hangatmu yang kian meninggi. Kita sampai mengeluarkan peluh. Boleh aku singkirkan ribuan tulip yang menutupi tubuhmu?”

“Ya, lihat aku apa adanya, tanpa kelambu, tanpa pura-pura.”

“Lalu aku melihat buntaian sutra serupa kulitmu. Aku meletakkan kepalaku di perutmu, detak jantungmu berdegup seperti meminta aku melakukan sesuatu. Apa itu, katakan?”

“Putuskan gravitasiku dengan bumi, meski sementara, karna aku sudah menggelora. Kamu penghantar panas yang sempurna.”

“Kamu terus menguasaiku hingga kini kau seperti awan. Aku melihatmu dari bawah, aku cecap atap perutmu, seperti haus setelah perjalanan panjang.”

“Seberapa haus, sayang? Aku sediakan minuman hingga hilang dahagamu, hingga lepas kering di pangkal lehermu.”

“Sayang, kenapa tubuh kita kian membuncah? Sampai-sampai kamu berbalik menjadi tanah. Kini aku menjadi awan, kembali kusiran dari dua matamu sampai pada surga ragawi. Bimbing aku karena ku sampai menutup mata. Sampai mana dirimu menjamah?”

“Kau tahu hakikat tanah adalah pasrah, menerima basah dari tetesan awan yang beribu. Menyerapnya dalam-dalam supaya kembali subur.”

“Jika sampai ke puncak awan ke tujuh, pegang aku sekuat mungkin. Siap sayang? Aku sudah memegang erat tubuhmu.”

“Aku siap terbang, bersamamu, tanpa ragu.”

“Kini kita sampai, begitu pelan dan lembut kita melepas. Raga tanpa sutera, menjadi manusia sebagai apa adanya. Lihatlah pemandangan dibawah, indah bukan?”

“Apakah sekarang saatnya kita kembali ke bumi, sayang? Apakah akan baik-baik saja disana?”

“Kita tandai awan ini, supaya nanti bisa kembali. Karena kita harus kembali ke bumi. Semua akan baik, selama kita merawat tanah, air, udara dan api dari hati.”




No comments:

Post a Comment