Kusmi membayangkan kembali tubuhnya dicumbui di malam-malam ketika suaminya belum berada di liang kubur. Ia begitu mendamba masa-masa itu terulang. Usik di sampingnya membuatnya seketika terperangah. Di hadapannya kini tertidur pulas seorang anak laki-laki sembilan tahun dan gadis mungil enam tahun lebih muda dari kakaknya.
Wanita yang baru menginjak seperempat abad itu menatap kedua mulut buah hatinya. Mulut-mulut itu, ya, mulut-mulut mungil itu yang sehari tiga kali menuntut nasi dan lauk di meja makan. Ah! Apapun rela kulakukan demi mulut-mulut itu bisa mengunyah. Tetes demi tetes air mata mengalir di kedua pipi Kusmi. Hanya gelap dan gemercik hujan yang menemaninya malam ini dengan setia. Ia cepat-cepat menyeka air matanya dengan kaos mugil berwarna jingga, tak ingin membuat anak-anaknya terjaga. Jauh di lubuk hati, kusmi berteriak-teriak memanggil suaminya, namun jawaban yang datang hanyalah bungkam.
Suami kusmi bukanlah seorang laki-laki yang tampan. Ketika masih gadis, ia sebenarnya sadar bahwa wajah dan tubuhnya yang molek bisa memikat laki-laki yang lebih menawan. Apalah daya, keadaannya sebagai seorang anak pembantu rumah tangga tidak mendukung impiannya memiliki suami yang mapan. Ia hanya mampu merampungkan pendidikan menengah, hanya memenuhi program wajib belajar dijaman ketika orang sudah membicarakan distance learning. Beberapa laki-laki hanya melirik namun tak menaruh harap. Hingga pada suatu ketika, seorang laki-laki, tujuh tahun lebih tua darinya, memberanikan diri datang ke rumah. Laki-laki itu pertama kali melihat kusmi ketika ia memanen padi di sawah ujung desa, dan jatuh hati. Kusmi tak begitu tertarik, selain tubuhnya kurus kerempeng, laki-laki itu sering kali terbatuk seperti perokok akut.
Laki-laki yang biasa dipanggil Sutamat itu semakin tertarik dengan kulit sawo matang Kusmi yang meskipun sering berada di bawah terik matahari, tetap mulus dan cerah. Beberapa kali ia mennyambangi Kusmi, terutama ketika ibunya tidak berada dirumah. Bujuk rayu Sutamat memikat Kusmi, apalagi sosoknya yang kebapakan mengisi ruang kosongnya akan seorang ayah. Berawal dengan pegangan tangan hingga berakhir ke ranjang. Ketika itu, terbersit rasa bersalah dalam hati Kusmi, namun ia abaikan. Untuk pertama kalinya dan menjadi awal dari kebiasaan mereka berdua, lagi dan lagi.
Awal Desember tahun 2001, Kusmi yang masih gadis tiba-tiba menjadi sangat suka dengan buah-buahan masam. Ia kemudian menyadari bahwa dua bulan terakhir ini ia tidak datang bulan. Resah membujuknya untuk mengadu kepada emak. “Mak, aku telat,” Ia mengawali pembicaraan. “Telat opo to Kus?” Sahut emaknya. “Aku meteng mak,” jawabnya lirih sambil terisak. “Meteng karo sopo?” Mata emak meradang.
Dua puluh lima tahun yang lalu di sebuah bis jurusan Jakarta-Jogja, emak duduk menatap sandal jepit yang ia kenakan. Ketika itu perutnya buncit berisi makhluk bernyawa. Jabang bayi yang sebenarnya tidak pernah ia harapkan karena ia tahu, kehadiran bayi itu akan melukai satu sisi kehidupannya. Dan ia-pun lebih memahami bahwa luka itu tak akan pernah menjadi bekas luka, akan selamanya menganga. Ia memutar otak, yang selama ini hanya ia pakai untuk menghafal nama bumbu dan cara memasak, mencari cara untuk berhadapan dengan mbakyu kandungnya, istri dari seseorang yang menanam benih dalam rahimnya. Ia mengutuk dirinya sendiri, berharap bisa mengulang waktu. Berharap bisa mengabaikan kedatangan laki-laki itu ketika ia terkurung sepi. Ia berharap untuk bisa menukar kenikmatan tiada tara yang pernah ia reguk untuk hari ini tanpa hujatan rasa bersalah.
Dunia harapan seketika enyah, ketika seorang laki-laki di kursi samping bertanya, “Sak benere anake sopo kuwi yu?” Wanita muda itu hanya menjawab dengan sunyi, tertunduk seolah tak mampu menopang beban di kepalanya. Dan begitu seterusnya, diam seribu bahasa menjadi penghias perjalanan sepanjang malam, terselingi lelap lelah.
Semakin hari, perut kusmi semakin membuncit. Beberapa bulan lagi ia tak akan mampu menyamarkan. Ia harus bertindak cepat. Kusmi mendatangi laki-laki kerempeng yang harus bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya. Laki-laki sama sekali tidak menunjukkan respon terkejut, bahkan ia berbahagia, inilah yang selama ini ia idam-idamkan. Mereka tidak perlu lagi main kucing-kucingan.
Merekapun menikah di akhir bulan Februari 2002, pada usia kandungannya yang sudah mencapai empat bulan. Kusmi menjadi ratu sehari, para tetangga berbondong-bondong menghadiri dengan pikiran di kepala masing-masing, ada yang merasa iba, ada yang ikut berbahagia. Di desa, berita burung sungguh sangat cepat terbang, bahwa Kusmi sudah berbadan dua telah diketahui seantero desa. Ia dan suaminya bersanding di pelaminan ditemani ayah ibu mempelai laki-laki dan... ya, terjadi sedikit keanehan. Di sebelah kusmi berdiri bukan hanya dua orang, akan tetapi tiga orang sekaligus, emak kusmi, pakdhe dan juga budhe kusmi. Budhe kusmi terus meneteskan air mata, rasa sakit yang selama ini ia pendam tumpah ruah pada momen pernikahan keponakan satu-satunya, anak haram suaminya.
Setelah melahirkan anak kedua, kusmi terlihat makin cantik dengan badan yang lebih sintal. Berbeda dengan Sutamat, tubuhnya semakin kurus, hingga suatu hari kusmi mendapati suaminya berhenti bernafas oleh monster kanker paru-paru.
“Ikhlas mbok?”
“Ikhlas, aku wis ngapuro.”
“Innalillahiwainnailaihirooji’un... “, lafal semua orang yang ada disekeliling emak ketika ia menghembuskan nafas terakhir setelah lelah berjuang melawan kanker rahim. Simbok, mbakyu emak, menangis tergugu. Bagaimanapun, mayat yang ada dihadapannya adalah adik kandungnya yang selama ini selalu mengalah, yang sejak kecil melakukan apa yang ia perintahkan. Dan kalaupun boleh mengadu, ia akan merengek agar Tuhan memberi usia yang lebih panjang bagi adiknya. Dan kalau ia tahu, lafal terakhirnya adalah pembuka pintu para pencabut nyawa, embok akan membisu seribu bahasa sampai kapanpun.
Kini Kusmi sebatang kara mengurus anak-anaknya. Di malam-malam yang dinginnya menusuk tulang seperti ini, ia sungguh mendamba kehangatan. Ia tatap kembali mulut-mulut mungil itu, mengelus kepala yang menjadi kanvas. Mengecup pipi gembil dan kembali merebahkan diri.
“Hoi.. metu ra koe, opo njaluk diajar rame-rame?” Para remaja berteriak lantang dari bawah. Laki-laki bertato turun melalui tangga dengan sengenap tenaga karena sudah kenyang akan bogem mentah beberapa remaja yang ikut naik ke langit-langit. Sesampainya dibawah, laki-laki itu kembali menikmati bogem dan tendangan dari pemuda yang sudah terlanjur kesetanan. Sudah seminggu ini mereka mendapati laki-laki itu keluar masuk rumah si janda molek itu di malam buta. Kusmi terisak, ia malu setengah mati, meski dalam hati ia juga menghujat. Tahu apa kalian tentang sepi? Tentang dingin malam yang membekukan hati? Tentang hasrat yang tak terobati?
Mulut-mulut mungil itu ikut mengeluarkan suara isak.
“Cup...cup...cup...”
Wanita yang baru menginjak seperempat abad itu menatap kedua mulut buah hatinya. Mulut-mulut itu, ya, mulut-mulut mungil itu yang sehari tiga kali menuntut nasi dan lauk di meja makan. Ah! Apapun rela kulakukan demi mulut-mulut itu bisa mengunyah. Tetes demi tetes air mata mengalir di kedua pipi Kusmi. Hanya gelap dan gemercik hujan yang menemaninya malam ini dengan setia. Ia cepat-cepat menyeka air matanya dengan kaos mugil berwarna jingga, tak ingin membuat anak-anaknya terjaga. Jauh di lubuk hati, kusmi berteriak-teriak memanggil suaminya, namun jawaban yang datang hanyalah bungkam.
Suami kusmi bukanlah seorang laki-laki yang tampan. Ketika masih gadis, ia sebenarnya sadar bahwa wajah dan tubuhnya yang molek bisa memikat laki-laki yang lebih menawan. Apalah daya, keadaannya sebagai seorang anak pembantu rumah tangga tidak mendukung impiannya memiliki suami yang mapan. Ia hanya mampu merampungkan pendidikan menengah, hanya memenuhi program wajib belajar dijaman ketika orang sudah membicarakan distance learning. Beberapa laki-laki hanya melirik namun tak menaruh harap. Hingga pada suatu ketika, seorang laki-laki, tujuh tahun lebih tua darinya, memberanikan diri datang ke rumah. Laki-laki itu pertama kali melihat kusmi ketika ia memanen padi di sawah ujung desa, dan jatuh hati. Kusmi tak begitu tertarik, selain tubuhnya kurus kerempeng, laki-laki itu sering kali terbatuk seperti perokok akut.
Laki-laki yang biasa dipanggil Sutamat itu semakin tertarik dengan kulit sawo matang Kusmi yang meskipun sering berada di bawah terik matahari, tetap mulus dan cerah. Beberapa kali ia mennyambangi Kusmi, terutama ketika ibunya tidak berada dirumah. Bujuk rayu Sutamat memikat Kusmi, apalagi sosoknya yang kebapakan mengisi ruang kosongnya akan seorang ayah. Berawal dengan pegangan tangan hingga berakhir ke ranjang. Ketika itu, terbersit rasa bersalah dalam hati Kusmi, namun ia abaikan. Untuk pertama kalinya dan menjadi awal dari kebiasaan mereka berdua, lagi dan lagi.
Awal Desember tahun 2001, Kusmi yang masih gadis tiba-tiba menjadi sangat suka dengan buah-buahan masam. Ia kemudian menyadari bahwa dua bulan terakhir ini ia tidak datang bulan. Resah membujuknya untuk mengadu kepada emak. “Mak, aku telat,” Ia mengawali pembicaraan. “Telat opo to Kus?” Sahut emaknya. “Aku meteng mak,” jawabnya lirih sambil terisak. “Meteng karo sopo?” Mata emak meradang.
Dua puluh lima tahun yang lalu di sebuah bis jurusan Jakarta-Jogja, emak duduk menatap sandal jepit yang ia kenakan. Ketika itu perutnya buncit berisi makhluk bernyawa. Jabang bayi yang sebenarnya tidak pernah ia harapkan karena ia tahu, kehadiran bayi itu akan melukai satu sisi kehidupannya. Dan ia-pun lebih memahami bahwa luka itu tak akan pernah menjadi bekas luka, akan selamanya menganga. Ia memutar otak, yang selama ini hanya ia pakai untuk menghafal nama bumbu dan cara memasak, mencari cara untuk berhadapan dengan mbakyu kandungnya, istri dari seseorang yang menanam benih dalam rahimnya. Ia mengutuk dirinya sendiri, berharap bisa mengulang waktu. Berharap bisa mengabaikan kedatangan laki-laki itu ketika ia terkurung sepi. Ia berharap untuk bisa menukar kenikmatan tiada tara yang pernah ia reguk untuk hari ini tanpa hujatan rasa bersalah.
Dunia harapan seketika enyah, ketika seorang laki-laki di kursi samping bertanya, “Sak benere anake sopo kuwi yu?” Wanita muda itu hanya menjawab dengan sunyi, tertunduk seolah tak mampu menopang beban di kepalanya. Dan begitu seterusnya, diam seribu bahasa menjadi penghias perjalanan sepanjang malam, terselingi lelap lelah.
Semakin hari, perut kusmi semakin membuncit. Beberapa bulan lagi ia tak akan mampu menyamarkan. Ia harus bertindak cepat. Kusmi mendatangi laki-laki kerempeng yang harus bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya. Laki-laki sama sekali tidak menunjukkan respon terkejut, bahkan ia berbahagia, inilah yang selama ini ia idam-idamkan. Mereka tidak perlu lagi main kucing-kucingan.
Merekapun menikah di akhir bulan Februari 2002, pada usia kandungannya yang sudah mencapai empat bulan. Kusmi menjadi ratu sehari, para tetangga berbondong-bondong menghadiri dengan pikiran di kepala masing-masing, ada yang merasa iba, ada yang ikut berbahagia. Di desa, berita burung sungguh sangat cepat terbang, bahwa Kusmi sudah berbadan dua telah diketahui seantero desa. Ia dan suaminya bersanding di pelaminan ditemani ayah ibu mempelai laki-laki dan... ya, terjadi sedikit keanehan. Di sebelah kusmi berdiri bukan hanya dua orang, akan tetapi tiga orang sekaligus, emak kusmi, pakdhe dan juga budhe kusmi. Budhe kusmi terus meneteskan air mata, rasa sakit yang selama ini ia pendam tumpah ruah pada momen pernikahan keponakan satu-satunya, anak haram suaminya.
Setelah melahirkan anak kedua, kusmi terlihat makin cantik dengan badan yang lebih sintal. Berbeda dengan Sutamat, tubuhnya semakin kurus, hingga suatu hari kusmi mendapati suaminya berhenti bernafas oleh monster kanker paru-paru.
“Ikhlas mbok?”
“Ikhlas, aku wis ngapuro.”
“Innalillahiwainnailaihirooji’un... “, lafal semua orang yang ada disekeliling emak ketika ia menghembuskan nafas terakhir setelah lelah berjuang melawan kanker rahim. Simbok, mbakyu emak, menangis tergugu. Bagaimanapun, mayat yang ada dihadapannya adalah adik kandungnya yang selama ini selalu mengalah, yang sejak kecil melakukan apa yang ia perintahkan. Dan kalaupun boleh mengadu, ia akan merengek agar Tuhan memberi usia yang lebih panjang bagi adiknya. Dan kalau ia tahu, lafal terakhirnya adalah pembuka pintu para pencabut nyawa, embok akan membisu seribu bahasa sampai kapanpun.
Kini Kusmi sebatang kara mengurus anak-anaknya. Di malam-malam yang dinginnya menusuk tulang seperti ini, ia sungguh mendamba kehangatan. Ia tatap kembali mulut-mulut mungil itu, mengelus kepala yang menjadi kanvas. Mengecup pipi gembil dan kembali merebahkan diri.
“Hoi.. metu ra koe, opo njaluk diajar rame-rame?” Para remaja berteriak lantang dari bawah. Laki-laki bertato turun melalui tangga dengan sengenap tenaga karena sudah kenyang akan bogem mentah beberapa remaja yang ikut naik ke langit-langit. Sesampainya dibawah, laki-laki itu kembali menikmati bogem dan tendangan dari pemuda yang sudah terlanjur kesetanan. Sudah seminggu ini mereka mendapati laki-laki itu keluar masuk rumah si janda molek itu di malam buta. Kusmi terisak, ia malu setengah mati, meski dalam hati ia juga menghujat. Tahu apa kalian tentang sepi? Tentang dingin malam yang membekukan hati? Tentang hasrat yang tak terobati?
Mulut-mulut mungil itu ikut mengeluarkan suara isak.
“Cup...cup...cup...”
miris bacanya..
ReplyDeletebagi beberapa orang, hidup tak semudah membalik telapak tangan. butuh perjuangan untuk berhadapan dengan berbagai stigma negatif yang telanjur melekat dan pola pikir yang cenderung menyalahkan keadaan.
bagi yang lain, menghakimi berdasar pendapat umum adalah hal termudah, meskipun sebenarnya kapasitas berpikir mereka masih mumpuni untuk memprosesnya menjadi sesuatu yang lebih berarti
#justathought
Brilliant! Common sense, sometimes ppl get trapped on it. :)
Delete