Saturday, November 27, 2010

…and the hot chocolate reminds me of you,



 
….and the hot chocolate reminds me of you,
…if only I could I would,
…turn back the time to those times we laughed, we teased, we sang,
…and if only I could I would,
…if only I could,
I would…

 


    Gadis itu memacu motorna gesit, menantang angin. Pikirannya sehampa kantong plastik yang baru saja berciuman dengan vacuum packager, suara sekencang apapun takkan sanggup menerobos masuk. Klakson mobil yang beberapa kali meraung hanyalah kesia-siaan, lenyap tak bersisa. Hingga kemudian laju mulai melambat dan beberapa belokan mengantarkannya pada sebuah kafe persis di ujung jalan. Deru mesin motorpun seketika berhenti.
    Langkah demi langkah membawa gadis itu berdiri di samping sebuah meja dimana kenikmatan melodi percik air sekaligus indahnya tarian riang ikan-ikan gembung meliuk gemulai bebas lepas yang seolah tak menyadari bahwa mereka terkurung terasa nyata. Ikan-ikan cantik yang malang. Ia geser kursi agak ke belakang kemudian duduk menatap akuarium yang tepat menghadap mejanya, mengamati ekosistem beraneka warna. Sungguh indah, tapi indahmu palsu, Sayang. Kalau saja kalian bisa benar-benar menari riang di sungai tanpa cemar limbah. Yah…dan sayangnya terkadang manusia mencintai keindahan semu. Seseorang dari balik pintu seketika mendekat.
    "Silahkan," kata pelayan berseragam putih itu seraya menyodorkan buku menu.
    "Terima kasih."
Ia membolak-balik buku menu dan menuliskan dua kode pada order sheet, B1.12 dan A2.07. Kembali ia serahkan kepada pelayan yang kemudian baru ia sadari pelayan itu cukup tampan untuk seorang pelayan. Kalau saja cowok ini anaknya Abu Rizal Bakri, pasti sudah menikahi artis ingusan berparas rupawan, atau cowok ini adik sepupunya Marcell, mungkin jadi penyanyi juga kali ya kemudian aku sudah terobsesi menyanyikan lagunya sambil memainkan gitar. Hahaha….
"Atas nama?" Pelayan tampan yang tanpa sadar ia amati tiba-tiba sentak membuatnya terjaga dari pikiran jahil.
"Aruna."

 
◌◌◌◌◌◌◌

 
    Di dalam bangunan kafe terdapat sebuah perpustakaan yang cukup luas. Aruna sudah menyadarinya sejak ia memarkir motor di depan kafe. Ia berdiri dan menyambangi ruang yang letaknya hanya bersisian. Berderet-deret komik memenuhi ruangan. Kedua matanya menelanjangi seluruh sudut dan sampailah ia pada sisi yang ia cari, barisan novel. Ia melakukan skimming dari ujung rak atas hingga paling bawah. Beberapa buku bergenre religi agama Kristen. Mungkin karena mengikuti selera para mahasiswa di Universitas Kristen yang terletak masih di lingkungan kafe ini. Ia kembali memfokuskan matanya pada beberapa buku. Koleksinya lumayan, tapi sayang jadwalku cukup padat. Hmmmh, next time would be nice. Aruna melangkah mendekati penjaga perpustakaan, menanyakan tentang teknis pendaftaran, mencatat sebuah note di handphone, dan kembali melangkah.
    Gadis jenjang itu kemudian mengayunkan kakinya melewati sebuah bilik dan mendapati di atas mejanya telah bertengger sebuah cangkir elegan berteman pisau dan garpu tak jauh di sampingnya. Dari kejauhan tampak permukaan cangkir itu didominasi warna putih susu dan warna coklat lembut persis di tengahnya, terlihat seanggun Ratna Sari Dewi Soekarno. Langkahnya semakin cekatan. Beberapa detik kemudian ia sudah duduk tepat di hadapan a cup of hot chocolate. Aruna menggeser cangkir itu hampir ke tepi meja kemudian menghirup aromanya lekat-lekat. Aroma coklat yang begitu menggoda melambaikan ingatan tentang seseorang, alam sadarnya bertekuk lutut hingga jutaan bayangan berjejal begitu saja di sebuah acara reuni serotonin dalam ruang otaknya.
    Jari-jari lentik Aruna menyentuh cangkir berukir bunga, hangat terasa. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, kelembutan bertabur salju selaksa hijab akan lebur olehnya. Namun apa daya, di tangan kanan telah ia genggam sebuah sendok berwarna keemasan. Ah, apalah arti keindahan tanpa bisa dinikmati. Sendok berhiaskan sulur daun itu meluncur menuju kedalaman cangkir, mencoba mencari celah, kemudian muncul kembali dengan cairan berwarna coklat lembut dan beberapa gumpalan putih diatasnya. Aruna meniup perlahan kemudian melumat, cairan coklat yang cukup kental menjalar ke seluruh bagian lidah dan membuat saraf-sarafnya mengerjang. Hmmm…. The delicioso taste of chocolate and… the perfecto smell of the cinnamon.
    Aruna meneguk cairan hangat itu, tegukan pertama, melayangkannya pada rutinitas pagi buta sebelum fajar menyingsing. Dering handphone yang kemudian diikuti dengan salam berlanjut tawa riang atau terkadang lenguhan lelah karena mata yang dipaksa terjaga sepanjang malam atau bahkan terkadang hanya suara bisu melambangkan kehadiran. Bibirnya tersenyum simpul, namun goresan di lubuk hatinya terasa perih. Ia kembali teringat pada ribuan pagi berhias gurauan yang hanya mereka berdua yang tahu letak kelucuannya. Tawa laki-laki yang begitu sejuk sekaligus menghangatkan setiap detik dalam hari-harinya. Gosh!…and the hot chocolate reminds me of you…
    Jari aruna meliuk seiring tarian sendok keemasan di genggamannya. Ia menghirup lagi aroma kayu manis yang begitu harum. Tegukan kedua, membawanya ke sebuah bangku tempat ia duduk bersampingan dan dua mangkuk es campur.
    "Tahu nggak habis berapa?"
    "Emang berapa?"
    "Tujuh ribu. Hahaha…"
    "Harusnya aku aja yang bayar." Keluh Aruna saat itu sambil menggerutu.
Angka tujuh begitu dicintai Aruna. Segala tentang tujuh, dan laki-laki itu akan tertawa riang ketika Aruna melewatkannya. Apapun yang Aruna minta akan ditolaknya dengan jurus andalan "nggak mau," dan gadis itu akan terus memaksa karena bukan jawaban "iya" yang ia nanti, tetapi ia mencandu penolakan dan tawa riang. Ia tahu benar, laki-laki itu akan menghindari segala hal yang membuatnya senang yang anehnya justru itu membuat Aruna seringkali tertawa lepas bebas. Kembali Aruna tersenyum simpul. Memejamkan matanya beberapa detik dalam diam.

 
    ◌◌◌◌◌◌◌

 
Tiga orang berbalut busana eksekutif muda memasuki kafe dan menggambil meja di samping Aruna yang sedang terpaku. Mereka berbincang riuh. Aruna terjaga, menelaah setiap lekuk cangkir menawan di depanna. Terdengar alunan sayup-sayup.


Is it wise enough to say?
…that I'm better off without you,
Is it wise enough to fake?
'cause all that I've been breathing is about you,
………
Is it you inside my head?
Is it you inside who says?
…that I've become
someone else…


Hmmm…. Is it you inside my head-nya Di-rect. What a damn perfect song! Kali ini ia pegang telinga cangkir putih itu erat. Tak lama kemudian bibir Aruna dan bibir cangkir berukir bunga itu beradu. Tegukan ketiga, menjemput lamunan tentang obrolan panjangnya sehari-hari dengan laki-laki itu. Gambaran seorang pendengar yang baik tampak begitu jelas. Seringkali mereka mendengarkan lagu dan bernyanyi bersahutan. Those weren't smart talk at all, but somehow I enjoyed them a lot, our long long long stupid talks. Kedua mata Aruna menerawang dan sesekali ia mendesah seakan udara memaksa lari dari tubuhnya. Then when once I said: "I kick you means I love you." You laughed freely that it's been stuck in my head. I kick you, a hundred times, a thousand times, a million times and even uncountable time. Aruna tertawa ringan.
    Tampak dari kejauhan seorang pelayan yang berbeda membawa si A2.07., a sirloin original steak. Kini asap halus menghiasi mejanya. Ia kembali menghirup aroma, sebuah aroma yang berbeda. Belum ada yang mengisi perutnya hari ini selain dua gelas air putih setelah bangun pagi. Tidak heran jika Aruna merasa lapar akut. Potong demi potong steak berlomba menjejali perutnya dan jagung manis serutpun enggan mengalah. Hidangan itu sungguh merenggut lamunan Aruna. Ia begitu menikmati hingga potongan terakhir.
    Hingga tibalah saatnya ia kembali pada cangkir di depannya, the cup of hot chocolate. Aruna memandangnya sendu. Kembali ia meneguk, tegukan kali ini membuat kening Aruna tampak berkerut. Bayangan pada masa dimana rasa takut kehilangan itu tampak begitu nyata muncul seketika. Sikap mereka berdua yang berubah emosional seakan menjadi pemicu rongga diantara hati. Tiada lagi tawa riang, seolah lenyap. Diam tidak lagi berarti kehadiran. Laki-laki itu semakin terbebani dengan beban pekerjaan. Bukan itu! Aruna menggeleng dan berteriak di dalam hati. Sebagian dari dirinya mulai kembali mempertanyakan, dejavu.

 
◌◌◌◌◌◌◌

 
    Tiga orang di sebelah Aruna masih tampak asyik berbincang. Ia sama sekali tidak menghiraukan mereka. Dilekatkannya kembali cangkir indah itu ke bibirnya. Satu tegukan lagi yang membuatnya kembali mendesah, lebih berat. Kata-kata itu terngiang-ngiang di otaknya. "Kalau kamu memang merasa sudah lelah dan tak sanggup, bilang saja apa adanya. Jangan dengan diam seperti ini. You know I can never stand to ignorance. It's been more than enough. But I need you to tell me what you really want." Rangkaian kata yang seolah mencuat begitu saja dari bibir mungilnya, setelah berhari-hari sudut kamar menemaninya bersandar dan berjuta sujud di pagi buta menghapus lelah. Dan kaupun tak pernah tahu, ketika aku berhadapan dengan Tuhanku, aku bercerita tentangmu, tentang kita. Beberapa kalimat yang terlontar seolah tidak memberi pilihan, menyudutkan hingga mereka sampai pada sebuah keputusan. Keputusan yang menikam hati, ikhlas.

 
◌◌◌◌◌◌◌

 
    Tegukan demi tegukan merenggut jiwanya menembus lorong waktu. Sampailah Aruna pada saat terakhir pertemuannya. Mereka tertawa riang, saling melempar tendangan. Baru kali itu ia yakin akan segala hal yang selama ini ia ragukan dari laki-laki istimewanya. And it's too late. Ataukah Tuhan memang berpendapat lain?
Let the unspoken be unspoken. Pertemuan itupun hanya sepenggal moment yang segera akan terlupakan. Namun bagi Aruna, kekuatan yang selama ini ia bangun runtuh seketika. Ia terjembab dalam tangis dan tawa. Pernahkah kau merasa sedih yang begitu dalam dan bahagia pada saat yang bersamaan? Ia terdiam tersiksa oleh rasa takut akan kebenaran tetang laki-laki itu, tentang perasaannya, tentang alasan keputusannya, tentang keinginannya yang sebenarnya untuk Aruna. Dan sungguh aku ingin lari saja, lari dari pemikiranku sendiri, aku ingin bebas lepas.


I know there's something in the wake of your smile,
I got a notion from the look in your eyes,
You've built a love but that love falls apart,
A little piece of heaven turns to dark….
Listen to your heart,
When he's calling for you…
Listen to your heart,
There's nothing else you can do…
I don't know where you're going and I don't know why,
but listen to your heart…
…before
You tell him good bye…

 

Sesekali kedua mata Aruna memejam terlena pada alunan Listen to Your Heart versi DHT yang menghiasi seisi ruang kafe. Cangkir putih itu masih terisi seperenamnya. Disinilah ia sekarang, dihadapan sebuah cangkir putih, a cup hot chocolate, minuman kesukaan seorang laki-laki istimewa. Loving those things loved by the one you love is a side effect. Even he's vanishing. Well, now.... it's the time for me to be selfish, I beg you an apology. It's the perfect time to let you go, set you free and I'll free myself indeed. Ia memusnahkan tegukan terakhir, menikmati manis coklat bersensasi pahit. Hmmm…This is it! The real chocolate is the bitter one. C'est la vie. Aruna beranjak, meninggalkan jejak pada sebuah cangkir kosong berukir bunga dan berlalu…

 
….and the hot chocolate reminds me of you,
…if only I could I would,
…turn back the time to those times we laughed, we teased, we sang,
…and if only I could I would,
…if only I could,
I would…

12 comments:

  1. seperti pengalaman pribadi si penulis waktu bertemu pelayan cakep

    ReplyDelete
  2. Dan kalau yang anda maksud pelayan cakep itu adalah anda sepertinya anda harus cukup bersabar menunggu cerita berikutnya,wkkk.... Thanks for visiting Mir!

    ReplyDelete
  3. Delphiiiiiiii.......

    bagus banget ceritanya....
    gw bangga punya temen yg bsa nulis sebagus ini kaya kamu....

    ga kaya gw, lulusan sastra Indo tp gbs nulis...hwakakakakak.....

    keep up the great job yah...

    btw, ini Ve =D

    ReplyDelete
  4. ohohohooo....thanks 4 visiting dear mb ve....
    Kadang terlalu buanyak imajinasi di kepala jd pgn dimuntahkan, dengan harapan semoga bermanfaat.

    Siap komandan,nunggu mood nulisna dateng...eheeheheh...

    ReplyDelete
  5. ehm ehm...ikutan meninggalkan jejak ah :)

    smoga bener dengan nulis, smua yang kepikiran n dirasakan bisa lebih dipikir dan dirasa *opo iki maksude?

    lanjut gaaaannn :thumbup

    ReplyDelete
  6. writing=overloaded-mind-stock-releasing,wkkk...

    Thanks mi....emmuach!

    ReplyDelete
  7. wkkk.... udah kena virus hunting hot choco, nan?

    ReplyDelete
  8. sing cerito menghayati banget ik...
    cerita ini mengingatkan pada seseorang...(hasyaaahh!!!)
    ^^
    ternyata kau punya bakat terpendam say...


    ^^

    ReplyDelete
  9. awesome, mb deph...

    lagunya direct tu laguku juga jaman romantika SMA dulu...wikikik

    ReplyDelete
  10. @fira: bukan se-ekor to? wkkk.... uuuuuuuuuuuuupz.....!

    @detchu: gara2 dep lagi demen banget ma dua lagu itu noh! wkkk...

    ReplyDelete
  11. ya ampun deph kok aku baru baca sekarang ya???kemana aja gue>keren keren keren depg

    ReplyDelete